"Penderitaan itu pedih, Jenderal. Sekarang rasakan sayatan silet ini. Juga pedih! Tapi tidak sepedih penderitaan rakyat."
Atau...
"Darah itu merah Jendral."
MASIH ingatkah anda dengan dialog-dialog yang saya tulis di atas? Ya, itu adalah salah satu penggalan dialog dalam adegan yang diambil dari film "Pengkhianatan G30S/PKI" garapan Arifin C Noer.
Sutradara kondang tanah air ini memang diakui telah sukses menciptakan trauma kolektif bagi jiwa-jiwa penontonnya, terutama anak-anak di zaman Orde Baru (Orba).
Penggalan dialog yang saya sebutkan tadi, dilakukan oleh antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI), untuk menakut-nakuti atau mengancam para jendral yang diculik, lalu di bawa ke Lubang Buaya.Â
Ya, diceritakan dalam film tersebut, para PKI memaksa kepada para jendral yang masih hidup untuk menandatangani sebuah surat, yang menyatakan bahwa dewan jendral itu memang ada.
Dalam catatan sejarah, dewan jendral itu adalah bentuk fitnah PKI terhadap para petinggi angkatan darat, yang konon katanya akan melakukan kup atau kudeta terhadap kedaulatan dan kekuasaan pemimpin revolusi, Presiden Sukarno.
Kembali pada film garapan Arifin C Noer dimaksud, peristiwa pembunuhan terhadap enam jendral dan satu perwira menengah itu memang masih mengundang banyak perdebatan.
Ada yang mengatakan, bahwa adegan-adegan kekerasan yang dilakukan oleh PKI terhadap tujuh pahlawan revolusi tersebut terlalu sadis. Hal itu sengaja dibuat dan dipesan oleh pemerintah, sebagai bentuk propaganda penguasa zaman Orba, dalam hal ini Presiden Soeharto. Tujuannya, adalah, agar masyarakat sangat membenci PKI. Di lain pihak, masyarakat sengaja diarahkan untuk mengakui Presiden Soeharto sebagai super hero dalam peristiwa tragis dimaksud.
Dan, ternyata maksud dari pemerintah zaman Orba tersebut sangat berhasil. Mayoritas warga masyarakat Indonesia, yakin dan percaya, bahwa kekejaman PKI memang sudah sangat melampaui batas prikemanusiaan. Sementara di sisi lain, Presiden Soeharto menjadi sosok penguasa yang cukup dieluk-elukan pada waktu itu.
Kendati demikian, kita singkirkan dulu silang pendapat atas film pengkhianatan G 30 S PKI tersebut. Yang pasti, fakta berbicara, bahwa enam jendral serta satu perwira menengah atas nama :
1. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani.
2. Letnan Jenderal Anumerta Suprapto.
3. Letnan Jenderal Haryono.
4. Letnan Jenderal Siswondo Parman.
5. Mayor Jenderal Pandjaitan.
6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
7. Kapten Piere Tendean
Adalah nama-nama yang gugur dalam peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 tersebut.Â
Fakta sejarah juga mengatakan, bahwa ketujuh pahlawan revolusi tersebut di atas, sebagian dibunuh di kediamannya masing-masing, dan sebagiannya lagi di rumah gubuk di Lubang Buaya.
Dan, satu lagi fakta sejarah yang tidak bisa dibantahkan adalah, ketujuh pahlawan revolusi itu, semuanya dikuburkan pada sebuah sumur tua. Masih bertempat di Lubang Buaya.
Karena peristiwa itu pula, sampai saat ini tempat tersebut (baca : Lubang Buaya) dijadikan sebuah Kompleks Monumen Pancasila Sakti oleh pemerintah. Hal ini dibuat sebagai atau untuk mengenang terjadinya peristiwa kelam atas kebiadaban dan pembunuhan terhadap tujuh pahlawan revolusi.
Maka, sangat beralasan jika akhirnya sekarang, Monumen Pancasila Sakti tersebut menjadi salah satu destinasi wisata sejarah bagi masyarakat, terutama para pelajar.
Sebagai tempat bersejarah dan banyak dikunjungi wisatawan, tentu saja Monumen Pancasila Sakti itu dibangun sebagus mungkin, meski tidak menghapuskan tempat aslinya.Â
Namun begitu, aura sisa-sisa kekejaman PKI dan aura mistis masih kuat dirasakan. Setidaknya hal ini dirasakan oleh penjaga museum, atas nama Boby dan Ahmad (nama samaran).
Dikutip dari tagar.id, mereka mengaku, telah banyak melihat hal-hal aneh, sehingga akhirnya hal itu dianggap biasa.
Ahmad pernah melihat sosok pocong yang tali kain kafannya sudah terlepas. Ia mengaku melihat sosok pocong saat berada di samping gedung Museum Pengkhianatan PKI. Ahmad mengaku pocong tersebut terbang menuju sumur Lubang Buaya dari Museum Pengkhianatan PKI.
Tak hanya itu, ketika Ahmad berpatroli mengelilingi tiap ruangan, dirinya sering mendengar percikan air seperti orang sedang bermain air di kamar mandi. Namun, saat dicek, suara itu menghilang.
Sementara, Bobby mengaku pernah melihat sosok hitam berbadan besar tepat jam 12 malam di dekat Lubang Buaya, saat berjaga di ring 1.
Untuk itu, Bobby selalu berpesan kepada pengunjung, untuk menjaga etika dan sopan santun agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Jaga sopan santun, jangan membuat kegaduhan, jangan bercanda, dan yang intinya jangan melakukan hal-hal yang aneh nantinya malah merugikan diri sendiri," pesannya.
Tentu saja, kita boleh percata atau tidak dengan cerita atau pengakuan Boby dan Ahmad. Itu semua dikembalikan pada keyakinan masing-masing. Namun, begitu, kita harus yakin dan percaya, bahwa ketujuh pahlawan revolusi adalah manusia-manusia terbaik yang pernah lahir di tanah air.
Untuk itu, sudah selayaknyalah kita menghormati jasa-jasa mereka, serta mendoakan yang terbaik buat mereka semua, agar amal ibadah mereka diterima dan diberi tempat terbaik di sisiNya. Aaminn
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H