SAAT mendengar opera sabun, apa yang ada dalam benak anda? Tentunya, bukan tentang opera yang banyak menggunakan sabun, bukan? Yah, jelas bukan.
Opera sabun adalah suatu drama atau serial yang ditayangkan dalam sebuah radio atau televisi yang memiliki alur cerita sangat panjang. Cerita ini bisa menghabiskan ribuan episode dalam penayangannya, sehingga membuat para penontonnya kadang jadi bosan dan cenderung monoton.
Padahal, jika mau tayangan drama tersebut bisa lebih dipersingkat. Dasar, karena merasa ratingnya masih bagus, maka pihak produser terus memperpanjang. Hasil ceritanya? Ya itu tadi jadi tidak karuan. Atau, simpelnya cerita tersebut terlalu diada-ada.
Nah, saya koq melihatnya, keberhasilan pihak kepolisian Indonesia menangkap atau menggelandang Djoko Tjandra, seorang buronan kelas kakap atas tuduhan kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, tak lebih dari cerita opera sabun.
Sebagaimana diketahui, Djoko Tjandra adalah buronan yang telah 11 tahun menghilang, akhirnya berhasil diamankan Bareskrim Polri pada 30 Juli 2020 lalu. Buronan Kejaksaan Agung tersebut ditangkap di negara tetangga, Malaysia.
Pertanyaannya, kenapa harus menunggu 11 tahun, padahal ternyata pihak kepolisian Indonesia begitu sigap menangkap Djoko, dengan waktu tak lebih dari satu bulan sejak membikin heboh tanah air.
Yah, seperti diketahui, kurang lebih sebulan lalu, Djoko Tjandra muncul di tanah air. Si buronan ini begitu licin, licik dan sekaligus mampu mengelabui aparat negara. Akibatnya, tiga jendral polisi pun jadi korbannya.
Maaf, kalau tidak sedikit yang curiga, bahwa sebenarnya Djoko Tjandra memang bukan baru sekali ini saja datang ke tanah air, melainkan sudah tak terhitung banyaknya. Hanya saja, boleh jadi selama ini banyak pihak yang berhasil di ajak "kerjasama sesat" hanya karena segepok duit. Itu kenapa, keberadaan Djoko Tjandra dalam 11 tahun ini seolah sulit terdeteksi keberadaannya.
Kecurigaan lain adalah, boleh jadi buronnya Djoko Tjandra melibatkan banyak kepentingan lain, baik itu perorangan atau bahkan institusi-institusi terkait yang tidak menginginkan pria kelahiran 1951 ini tertangkap. Pasalnya, jika tertangkap, khawatir ada banyak pihak yang ikut terseret dalan pusaran korup hak tagih dimaksud. Wallahu allam bishawab.
Ada yang bilang, bahwa tidak pernah ada kejahatan yang sempurna. Hal ini pun nyatanya berlaku bagi Djoko Tjandra. Pertualangannya selama ini akhirnya harus ketahuan pula.
Diawali dengan hebohnya Djoko Tjandra datang ke tanah air untuk mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas kasus yang membelitnya, lalu diteruskan dengan drama pembuatan e-KTP, dan kemudian membongkar keterlibatan para pejabat tinggi Mabes Polri. Membuat pemerintah benar-benar dipermalukan.
Tidak ingin kehilangan muka di mata masyarakat tanah air, pemerintah melalui pihak kepolisian langsung bergerak cepat. Dan, hasilnya bisa kita saksikan bersama, tidak perlu makan waktu tahunan atau bahkan belasan tahun. Sang buron berhasil dicokok hanya dengan hitungan pekan.
Hal ini membuktikan, bahwa jika pemerintah serius dan terbebas dari segala kepentingan, sebetulnya sangat mampu sigap dan bergerak cepat untuk mencokoki paran buronan tanah air, termasuk Djoko Tjandra.
Hal ini tak bedanya dengan opera sabun. Sebetulnya, pihak produser atau sutradara sangat bisa untuk menjadikan drama tersebut selesai lebih cepat, dengan alur cerita yang benar-benar bisa dipahami penonton.
Akan tetapi, karena ada kepentingan, cerita tersebut akhirnya dibuat skenario baru, agar terus berlanjut. Tak peduli, bahwa sebenarnya penonton itu sendiri sudah bosan dan muak. Sehingga, saat drama itu akhinya selesai, penonton hanya bisa tersenyum nyinyir.
Pun, dengan drama penangkapan Djoko Tjandra, rasanya tak sedikit pihak yang hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum nyinyir.
Meski begitu, kita tetap patut memberi apresiasi atas keberhasilan pihak kepolisian. Sekarang, tinggal kita tunggu, apakah dengan tertangkapnya Djoko Tjandra akan bisa menyeret pihak-pihak lainnya. Artinya tidak hanya satu lurah, tiga jendral polisi dan pengacaranya, Anita Kolopaking saja.
Harun Masiku, Kapan?
Kasus buronnya Djoko Tjandra adalah kasus lama. Sebenarnya, ada kasus terbaru yang hingga saat ini belum bisa atau mungkin "tidak akan" diungkap. Yaitu, buronnya politisi PDI Perjuangan, Harun Masiku.
Yah, seperti halnya Djoko Tjandra, Masiku juga hingga saat ini masih buron dan entah dimana keberadaannya. Dia menjadi buron setelah menjadi tersangka dalam kasus suap pergantian antar waktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang melibatkan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Jika melihat dari kemampuan dan kesigapan pihak kepolisian, semestinya mereka mampu mengungkap tabir buronnya Masiku. Asalkan dengan satu syarat, tidak ada lagi konflik kepentingan yang menjebaknya.
Kita tentu sangat berharap, institusi Polri bekerja profesional dan menjadi kebanggaan masyarakat tanah air. Jangan sampai ada lagi oknum-oknum kepolisian atau pihak manapun yang malah turut memfasilitasi buronnya Masiku.
Sebab, jika para aparat pemerintah masih terjebak dengan segala kepentingan yang ada, maka rasanya pesimis jika Masiku bisa ditangkap dalam waktu dekat. Alias, keberadaan Harun Masiku akan selalu menjadi tabir gelap bagi seluruh masyarakat tanah air.
Kita tentu tak berharap, drama atau opera sabun Djoko Tjandra kembali terulang, baru kemudian bisa menangkapnya.
Jadi, pertanyaannya sekarang, kapan Harun Masiku ditangkap?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H