Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Pseudo Democracy" dan Jika Gibran Melawan Kotak Kosong

30 Juli 2020   20:06 Diperbarui: 30 Juli 2020   20:14 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.kabarsumbar.com

SELAMA ini publik hanya bisa bergunjing soal penyelenggaraan pemilu. Pelanggaran oleh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI maupun daerah yang kerap off side, hanya menjadi bahan diskusi di warung warung kopi. Tentu selalu terpatahkan oleh bantahan karena tidak ada bukti valid.

Padahal, yang lebih prinsip dari penyelenggaraan pemilu, baik legeslatif, Pilpres, maupun kepala daerah adalah bagaimana caranya menghasilkan aktor-aktor politik yang benar-benar mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat.

Proses demokrasi memang dijalankan dengan segala tektek bengek aturan. Hanya saja proses demokrasi yang kerap terjadi di tanah air adalah pseudo democracy (demokrasi semu). Hasilnya, sudah bisa kita lihat bersama. Jarang sekali para pemimpin di daerah yang benar-benar mengabdi sepenuhnya demi kepentingan masyarakat. Mereka kerap bergelut dengan kepentingan politiknya.

Banyak contoh tentang pseudo democracy di tanah air. Sebut saja, waktu zaman pemerintahan orde baru, negara Indonesia seolah-olah menjalankan demokrasinya dengan baik. Padahal, realitanya hanya setingan semata, sehingga jauh-jauh hari sudah bisa kita tebak, siapa yang akan memenangkan pemilu.

Ya, tiap pemilu yang diselenggarakan pemerintah zaman orba, pemenangnya sudah bisa dipastikan, adalah Golkar. Sementara partai lainnya, PPP dan PDI hanya sebatas pelengkap penderita. Saya lebih senang menyebutnya, pajangan demokrasi.

Contoh lain dari pseudo democracy adalah kontestasi Pilkada, yang mana salah satu pesertanya adalah kotak kosong, alias hanya ada calon tunggal.

Kalau saya perhatikan, dari tiap pilkada ke pilkada, jumlah calon tunggal terus meningkat. Bahkan, puncaknya pada Pilkada 2018 lalu tercatat ada 13 calon tunggal. Tentu, dalam politik elektotal, merebaknya calon tunggal tidak sehat bagi masa depan demokrasi.

Jamak, jika calon tunggal dikatakan sebagai perhelatan demokrasi semu. Sebab :  

Pertama, calon tunggal telah menghilangkan kompetisi dalam demokrasi. Padahal, salah satu dimensi penting dalam demokrasi adalah adanya sebuah kompetisi. Tanpa adanya kompetisi, hajatan demokrasi hanyalah opera sabun yang pekat aroma kepentingan.

Kedua, melemahnya oposisi. Ini terjadi karena semua partai mendukung satu calon sehingga kepala daerah terpilih cenderung menjalankan roda pemerintahan tanpa adanya kontrol. Eksesnya, konstruksi pemerintahan daerah yang demokratis dan transparan akan tergerus, karena desain kelembagaan DPRD yang menjalankan fungsi pengawasan (checks and balances) cenderung tak berjalan.

Ketiga, munculnya kepala daerah boneka. Ini berbahaya lantaran kepala daerah terpilih dalam menjalankan pemerintahannya. meminjam istilah sosiolog Erving Goffman (1922-1982), lebih banyak memainkan dramaturgi.

Kerja pemerintahan yang terlihat di permukaan berbeda dengan kerja yang sebenarnya di belakang layar. Dalam konteks lebih ekstrem, kepala daerah boneka berpotensi menjadi lahan praktik politik yang menghalalkan segala cara demi memenuhi kepentingan pihak-pihak tertentu dengan menipu kesadaran publik.

Seperti telah disinggung di atas, proses demokrasi semu hanya akan menghasilkan para pemimpin yang cenderung bekerja demi kepentingan politik semata, karena terlalu banyak hal yang harus dilakukan si pemimpin demi memuaskan syahwat kepentingan partai pendukungnya.

Gibran Bisa Jadi Lawan Kotak Kosong

Dalam perhelatan Pilkada serentak 2020, sepertinya adanya calon tunggal berpotensi masih akan terjadi. Salah satu yang berpeluang adanya calon tunggal adalah Pilwakot Solo.

Sebagaimana diketahui, dalam kontestasi pemilihan kepala daerah di Kota Bengawan ini, ada satu calon yang dipastikan sangat superior. Dia adalah Gibran Rakabuming Raka.

Putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini diusung oleh partai yang sangat mendominasi Kota Solo, yakni PDI Perjuangan.

Betapa tidak, dari 45 kursil parlemen yang tersedia di Kota tersebut, 30 kursinya dikuasai oleh partai yang berlambang banteng gemuk moncong putih dimaksud. Kekutan Gibran yang sudah luar biasa ini, semakin dashyat, karena statusnya sebagai putra sang penguasa negeri.

Kondisi ini sangat disadari betul oleh partai-partai politik yang berada di Kota Solo. Maka, daripada harus "bunuh diri" dengan melawan kekuatan Gibran. Mereka lebih memutuskan untuk bergabung.

Dengan posisi partai politik lainnya yang sudah jiper duluan melawan Gibran, dan akhirnya memutuskan untuk bergabung. Maka, sudah bisa dipastikan, tidak akan ada calon lain dari partai politik yang akan menandinginya.

Sebenarnya ada satu partai yang siap menandingi Gibran. Partai itu adalah PKS. Sayang, kekuatan mereka di DPRD Kota Solo maupun akumulasi suara syahnya tidak cukup untuk mengusung calonnya sendiri. Satu-satunya harapan agar pseudo democracy tidak terjadi di Kota Solo adalah dengan majunya calon independen.

Sejauh ini, kabarnya ada calon independen yang siap menandingi Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa. Hanya saja, pasangan Bagyo Wahyono dan F.X Supardjo atau Bajo ini masih harus menunggu hasil verifikasi dari KPUD setempat.

Mudah-mudahan saja calon independen ini bisa lolos verifikasi, sehingga demokrasi di Kota Solo setidaknya diselamatkan oleh adanya pasangan dari calon independen ini. Jika tidak, berarti sudah hampir dipastikan, Gibran dan pasangannya bakal melawan kotak kosong.

Bagaimana peluang Gibran, jika melawan kotak kosong?

Banyak yang meyakini, bahwa putra sulung Presiden Jokowi ini bakal melenggang mulus menuju kursi Solo 1. Namun, apapun di politik bisa terjadi. Apa yang kita yakini hari ini, boleh jadi hasilnya tidak berbanding lurus dengan realita yang terjadi nanti.

Kenapa?

Karena, sejarah Pilkada telah mencatat, bahwa ada calon tunggal yang digadang-gadang memiliki kekuatan besar dan dipastikan lolos menuju kursi kekuasaan, hasilnya malah ambyar. Calon tunggal tersebut justru kalah oleh kotak kosong.

Peristiwa demokrasi memalukan ini terjadi pada Pilwakot Makasar 2018 lalu. Dimana pasangan Munafri Arifuddin - Andi Rahmatika Dewi harus keok oleh kotak kosong.

Dikutip dari Kompas.com, dalam rekapitulasi suara, kotak kosong menang di 13 kecamatan. Sedangkan, calon tunggal hanya menang di dua kecamatan.

Kotak kosong memperoleh suara sebanyak 300.795, sedangkan calon tunggal memperoleh suara sebanyak 264.245. Total perolehan suara Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar mencapai 565.040 suara. Perolehan suara antara kotak kosong dengan calon tunggal sebanyak 36.898 suara.

Perolehan suara kotak kosong memperoleh suara Pilkada Makassar 2018 sebanyak 53,23 persen dan perolehan suara calon tunggal Appi-Cicu yang diusung 10 partai besar memperoleh suara sebanyak 46,77 persen.

Berkaca pada hasil Pilwakot Makasar, tentu tidak menutup kemungkinan pula bakal terjadi pula pada pasangan Gibran - Teguh Prakosa. Siapa tahu, bukan?  

Alarm bagi aktor politik

Bukan saya berharap, tapi jika pada saatnya nanti pasangan Gibran -Teguh Prakosa melawan kotak kosong dan ditakdirkan kalah. Maka, menurut saya, dari segi perspektif demokrasi, kemenangan kotak kosong justru ada positifnya, karena dapat menjadi alarm kuat bagi aktor politik untuk jangan coba-coba meraih kekuasaan dengan jalan instan dan "pengkondisian". 

Pasalnya, kemunculan kotak kosong atau calon tunggal biasanya selalu didasarkan tiga kondisi.

Pertama,  gagalnya kaderisasi parpol. Parpol kehabisan stok kader yang secara kalkulasi politik mampu bersaing dalam lapangan hijau Pilkada. Pasalnya, dalam konteks demokrasi elektoral hari ini, salah satu variabel penting dalam mengusung kandidat adalah soal kans menang, alias elektabilitas menjanjikan.

Kedua, adanya pihak-pihak yang sengaja mendesain munculnya calon tunggal. Dalam studi yang dilakukan Dur dan Bievre (2007), pihak-pihak yang maksud adalah kelompok berkepentingan. Tujuannya bisa untuk melanggengkan bisnis, dinasti politik, mempertahankan dominasi pengaruh, pemburuan rente, ataupun lainnya.

Ketiga, karena politik berbiaya mahal. Ongkos demokrasi elektoral yang begitu mahal membuat sejumlah tokoh urung sebelum bertarung.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun