Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Petrus dan Kudatuli, Jejak Kelam Rezim Soeharto

29 Juli 2020   20:23 Diperbarui: 29 Juli 2020   22:06 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IBARAT rasa permen nano-nano yang rasanya beragam, itulah jejak yang ditinggalkan oleh Presiden Republik Indonesia (RI) ke-2, Soeharto.

Selama masa kekuasaannya yang hampir mencapai 32 tahun, Presiden Soeharto begitu banyak menorehkan catatan sejarah bagi bangsa dan negara Indonesia. Ya, seperti Nana-nano, catatan sejarah itu beragam. Ada bangga, ada suka, duka dan juga kelam.

Apa yang bisa membuat Presiden Soeharto bertahan begitu lama? Tentu saja karena siasat, taktik dan strategi politiknya, yang mampu mengendalikan keadaan bangsa dan negara, sehingga seluruhnya tunduk pada titahnya. Tak peduli, bahwa siasat atau strateginya ini sebenarnya bertentangan dengan regulasi atau etika.

Buat Presiden Soeharto, kekuasaan adalah prioritas utama. Apapun akan dilakukan.
Dari sekian banyak keputusan atau kebijakan itu, dua diantaranya tercatat sebagai torehan sejarah atau jejak kelam rezim Presiden Soeharto.

Dua jejak kelama Rezim Orde Baru (Orba) ini adalah, penembakan misterius (Petrus) dan kerusuhan duapuluh tujuh juli (Kudatuli).

Petrus

Demi menggenggam erat kekuasaannya, "The Smiling General", begitu salah satu julukan Presiden Soeharto, sempat mengeluarkan kebijakan yang boleh dibilang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Kebijakan dimaksud adalah membredeli aksi-aksi premanisme di tanah air. Aksi ini kemudian dikenal dengan istilah "Pertrus" atau penembakan misterius.

Fenomena penembakan ini menjadi kontroversi yang hebat di masa lalu. Meski demikian tidak ada pihak yang bisa menentangnya. Masalahnya, proyek Petrus ini dilaksanakan oleh anggota TNI (meski tidak pernah mengakui) atas titah dari presiden Soeharto.

Tujuan utama dari Petrus adalah membasmi penjahat kelas teri seperti preman, maling, juga bandar judi. Anehnya, penjahat kelas kakap yang berdasi justeru luput dari buruan para penembak misterius dimaksud.

Biasanya penjahat ini akan dijemput oleh sekelompok orang dari militer dan dibawa ke tempat yang sepi. Di sana penjahat akan disiksa dan ditali tubuhnya, kemudian ditembak mati, dan dibiarkan tergeletak di jalanan. Peristiwa kelam itu sendiri terjadi pada rentang waktu 1983 hingga 1985.

Dengan adanya aksi ini, boleh jadi masyarakat sipil biasa merasa keamanannya terjamin. Akan tetapi, rasa resah dan khawatir sangat dirasakan oleh para preman kala itu. Mereka banyak yang coba yang menyembunyikan diri, namun kebanyakan tak mampu lolos dari buruan para penembak misterius dimaksud.

Pendek kata, dengan peristiwa petrus, menurut catatan Komnas HAM, ribuan preman telah berhasil dibunuh tanpa melalui proses peradilan yang layak.

Tak ada gading yang tak retak. Pun dengan petrus yang semula dilakukan secara rahasia ini lambat laun tersebar di lingkungan masyarakat dan sempat mendapat perhatian dunia luar. Mereka menganggap, aksi ini adalah bentuk sadisme pihak pemerintah.

Dikutip dari Historia, Mantan Kepala BAKIN, Yoga Sugama menilai, pembunuhan yang terjadi terhadap para preman terdapat kepentingan yang lebih besar daripafa mempersoalkan penjahat yang mati misterius.

Sementara, LB Moerdani, panglima yang disebut-sebut sebagai salah satu desainer operasi Petrus, mengatakan, peristiwa itu dipicu oleh perang antargenk. Benny berdalih pembunuhan-pembunuhan itu tak melibatkan tangan ABRI.

Masih dikutip Historia, Presiden Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, punya dalih lain. Dia menuturkan kalau Petrus ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.

Kudatuli

Pada masa pemerintahan orba, hanya ada tiga partai politik (Parpol) yang diakui pemerintah. Ketiga Parpol tersebut adalah, Golkar, PPP, dan PDI.

Dari ketiga parpol itu, Golkar adalah refresentasi langsung dari pemerintah. Karena dominasinya, partai berlambang pohon beringin ini pula yang menjadikan Soeharto mampu bertahan selama lebih dari tiga dekade lamanya.

Sementara, untuk dua partai lainnya, yakni PPP dan PDI, tak ubahnya "boneka politik". Mereka ada sekedar pajangan untuk memperlihatkan pada dunia luar, bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdemokrasi. Padahal, realitanya, keberadaan dua partai itu tetap saja boleh dibilang sebagai "antek" rezim Soeharto.

Namun, saat Megawati didaulat menjadi Ketua Umum PDI pada tahun 1993, Presiden Soeharto mulai merasa terusik dan menjadi ancaman.
Betapa tidak, setelah menjabat ketua umum partai, nama Megawati semakin populer, dicintai dan dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap rezim orba.

Mendapati situasi yang kurang menguntungkan dan berpotensi menjadi ancaman besar, pemerintah pun mulai membuat skenario untuk menggembosi kekuatan Megawati.

Pendek kata, pada tahun 1996 diadakanlah Kongres PDI di Kota Medan, yang mendaulat Soerjadi sebagai ketua umum baru.

Disebut-sebut, kongres tersebut terjadi ada campur tangan pemerintah. Terbukti, dengan hadirnya Menteri Dalam Negeri, Yogie S Memet dan Panglima ABRI, Faisal Tanjung, untuk memberi restu. Sedangkan, di lain pihak, Megawati dan pendukungnya justru tidak hadir.

Boleh jadi, pemerintah mengakui PDI kubu Soerjadi. Namun, mayoritas kader "banteng" yang ada di akar rumput justru semakin kuat memberikan dukungannya terhadap Megawati. Intinya, mereka sama sekali tidak mengakui ketua umum versi kongres Medan.

Tak mengakui Kongres Medan yang memenangkan Soerjadi, PDI kubu Megawati pun menjaga DPP siang malam. Pasalnya, isu perebutan DPP sudah merebak. Mereka berupaya untuk menjaga dan mempertahankan.

Dikutip dari Kompas.com, Para simpatisan bahkan sudah menandatangani surat tidak akan menuntut Megawati jika nanti mereka harus kehilangan nyawa.

Benar saja, Kantor DPP PDI yang dijaga pendukung Megawati itu kemudian diserang pendukung PDI kubu Soerjadi saat fajar 27 Juli 1996. Massa PDI pendukung Soerjadi mulai berdatangan dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini bercat kuning.

Masih dikutip Kompas.com, Massa PDI pendukung Soerjadi yang mengenakan kaus warna merah bertuliskan "DPP PDI Pendukung Kongres Medan" serta mengenakan ikat kepala melempari kantor DPP PDI dengan batu dan paving block.

Akibat dari bentrokan tersebut, dikabarkan cukup banyak korban yang terjadi di antara kedua kubu.

Pendek kata, peristiwa kudatuli akhirnya hanya menjadi jembatan Megawati menjadi tokoh nasional yang sangat disegani, terutama oleh para kadernya. Bahkan, sejarah mencatat, keberhasilan putri sulung Bung Karno ini memimpin partai telah mengantarkan dirinya mengikuti jejak sang ayah, menjadi Presiden RI.

Sementara, pasca peristiwa kudatuli, nasib rezim Soeharto justru malah hancur lebur. Dua tahun setelah peristiwa tersebut, sang penguasa orde baru itu harus lengser dari jabatannya karena desakan ribuan aksi massa.
Tanggal 28 Mei 1998 adalah saksi sejarah runtuhnya kekuasaan "The Smiling General" sekaligus membuka pintu gerbang era reformasi.

Itulah dua jejak kelam yang terjadi saat pemerintahan rezim Soeharto, yang tentu saja tidak diharapkan terjadi lagi sekarang atau dimasa yang akan datang.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun