IBARAT rasa permen nano-nano yang rasanya beragam, itulah jejak yang ditinggalkan oleh Presiden Republik Indonesia (RI) ke-2, Soeharto.
Selama masa kekuasaannya yang hampir mencapai 32 tahun, Presiden Soeharto begitu banyak menorehkan catatan sejarah bagi bangsa dan negara Indonesia. Ya, seperti Nana-nano, catatan sejarah itu beragam. Ada bangga, ada suka, duka dan juga kelam.
Apa yang bisa membuat Presiden Soeharto bertahan begitu lama? Tentu saja karena siasat, taktik dan strategi politiknya, yang mampu mengendalikan keadaan bangsa dan negara, sehingga seluruhnya tunduk pada titahnya. Tak peduli, bahwa siasat atau strateginya ini sebenarnya bertentangan dengan regulasi atau etika.
Buat Presiden Soeharto, kekuasaan adalah prioritas utama. Apapun akan dilakukan.
Dari sekian banyak keputusan atau kebijakan itu, dua diantaranya tercatat sebagai torehan sejarah atau jejak kelam rezim Presiden Soeharto.
Dua jejak kelama Rezim Orde Baru (Orba) ini adalah, penembakan misterius (Petrus) dan kerusuhan duapuluh tujuh juli (Kudatuli).
Petrus
Demi menggenggam erat kekuasaannya, "The Smiling General", begitu salah satu julukan Presiden Soeharto, sempat mengeluarkan kebijakan yang boleh dibilang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Kebijakan dimaksud adalah membredeli aksi-aksi premanisme di tanah air. Aksi ini kemudian dikenal dengan istilah "Pertrus" atau penembakan misterius.
Fenomena penembakan ini menjadi kontroversi yang hebat di masa lalu. Meski demikian tidak ada pihak yang bisa menentangnya. Masalahnya, proyek Petrus ini dilaksanakan oleh anggota TNI (meski tidak pernah mengakui) atas titah dari presiden Soeharto.
Tujuan utama dari Petrus adalah membasmi penjahat kelas teri seperti preman, maling, juga bandar judi. Anehnya, penjahat kelas kakap yang berdasi justeru luput dari buruan para penembak misterius dimaksud.
Biasanya penjahat ini akan dijemput oleh sekelompok orang dari militer dan dibawa ke tempat yang sepi. Di sana penjahat akan disiksa dan ditali tubuhnya, kemudian ditembak mati, dan dibiarkan tergeletak di jalanan. Peristiwa kelam itu sendiri terjadi pada rentang waktu 1983 hingga 1985.
Dengan adanya aksi ini, boleh jadi masyarakat sipil biasa merasa keamanannya terjamin. Akan tetapi, rasa resah dan khawatir sangat dirasakan oleh para preman kala itu. Mereka banyak yang coba yang menyembunyikan diri, namun kebanyakan tak mampu lolos dari buruan para penembak misterius dimaksud.