"Ini bukan sesuatu yang salah sepanjang komposisi dan kapasitasnya cocok. Saya hanya menjaga prosedur pemilihan berlangsung secara transparan dan kandidat yang terpilih bisa menjadi bagian transformasi BUMN," kata Erick. Dikutip Tempo.co yang melansir dari wawancara khusus bersama Majalah Tempo edisi 18 Juli 2020.
Kata Erick, saat menyorongkan usulan komisaris dan direksi, para menteri harus bersurat kepadanya. Dia meminta usulan tersebut dituangkan dalam dokumen hitam di atas putih sebagai bentuk pertanggungjawaban.
"Sebab politik itu kadang menggiring. Kalau tidak senang kepada saya, dibilang komisaris ini orangnya Erick semua. Kalau ada surat, tinggal saya tunjukkan saja," tuturnya.
Bahkan, menurut Erick, ada pula pihak yang meminta jatah itu melalui perpesanan instan WhatsApp. Namun, dia tidak menggubris.
Masih dikutip dari Tempo.co, untuk menjaring nama-nama komisaris dan direksi, Erick mengakui menggunakan firma head, khususnya guna memilih pakar dan calon yang berkualitas.Â
Nama-nama yang dianggap memiliki kemampuan dan kapabilitas akan disorongkan kepada Presiden Jokowi untuk selanjutnya diputuskan.
Jika apa yang dikatakan Erick Tohir ini benar, saya jadi merasa, BUMN itu tak ubahnya sebagai sebuah perusahaan milik keluarga atau nenek moyang mereka. Mentang-mentang merasa dekat atau mungkin berjasa, lantas seenaknya minta jatah kursi direksi di perusahaan pelat merah.
Jika ini terus terjadi, bagaimana bisa Erick Tohir menjalankan roda kepemimpinananya sesuai dengan visi misi presiden, kalau ternyata masih banyak rongrongan dari pihak-pihak yang meminta jatah kursi.
Sebaliknya, jika Erick Tohir mau saja menerima titipan tanpa prosedur yang jelas, pria kelahiran 30 Mei 1970 ini sama saja tengah menjalankan politik dagang sapi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H