SAHIH, sah, yakin, pasti, atau apalah namanya boleh anda ungkapkan sesuka hati, setelah teka-teki soal siapa yang direkomendasi untuk maju pada pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Solo 2020 diumumkan oleh DPP PDI Perjuangan.
Iya, sebagaimana diketahui, Ketua DPP Partai berlambang banteng gemuk moncong putih, Puan Maharani, dengan tegas membacakan pengumuman, bahwa yang berhak maju pada Pilwakot Solo adalah Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa, Jumat (17/07/2020).
Sejenak, sebagai warga negara Indonesia, saya merasa bangga, seorang anak muda seumuran Gibran telah berani masuk dalam kancah politik dan siap mendedikasikan segenap kemampuannya untuk kemajuan Kota Solo.
Benar, tentu saja tidak hanya Gibran, masih ada anak-anak muda lainnya yang masuk dalam kancah politik. Akan tetapi, jumlah anak muda yang langsung siap bertarung dalam kontestasi Pilkada rasanya masih bisa dihitung dengan jari.
Namun, mendadak rasa bangga itu sirna seketika, setelah saya sadar, siapa Gibran itu sebenarnya.
Gibran Rakabuming Raka, adalah putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Orang paling berkuasa di republik ini.
Sadar akan hal ini, saya jadi berpikir, jangan-jangan direkomendasinya Gibran tersebut tak lebih karena statusnya sebagai putra presiden. Bisa jadi, kan?
Pikiran saya ini tentu saja bukan tanpa alasan.
Jika mau jujur dan fair. Rasanya yang lebih pantas mendapatkan rekomendasi dari PDI Perjuangan adalah Ahmad Purnomo.
Dilihat dari segi pengalaman berpolitik dan pemerintahan. Perbandingan Gibran dengan Ahmad Purnomo tak ubahnya bumi dan langit.
Ahmad Purnomo merupakan politisi senior yang telah banyak berpetualang dalam kancah politik praktis. Selain itu, dia juga saat ini statusnya adalah petahana. Menjabat sebagai Wakil Wali Kota Solo.
Sedangkan Gibran, menjadi kader PDI Perjuangan pun belum genap satu tahun. Dia mendaftarkan diri jadi kader "banteng" itu sekira bulan September 2019.
Jadi, sudah bisa dipastikan, pengalaman Gibran masih sangat minim. Pun, dengan dunia pemerintahan, pengalaman Gibran jelas nol besar.
Jika demikian halnya, kenapa PDI Perjuangan lebih memilih Gibran dibanding Ahmad Purnomo?
Dari kalkulasi politik praktis, sudah bisa ditebak, kelemahan Gibran dari segi pengalaman ini bisa ditutupi dengan statusnya sebagai anak presiden.Â
Apalagi, Jokowi adalah mantan Wali Kota Solo, yang pernah mewariskan kepemimpinan yang baik di sana.
Ini tentunya menjadi nilai lebih bagi Gibran. Soalnya, kadang masyarakat akan berpikiran, ketika orang tuanya dianggap berhasil saat memimpin, maka citra baik akan otomatis turun pada trahnya.
Keuntungan lainnya, Kota Solo adalah basisnya PDI Perjuangan di Jawa Tengah. Dan, Gibran berada pada kendaraan politik yang tepat. Artinya, tidak akan begitu sulit bagi Gibran mendapatkan simpati publik.
Tapi, jika bicara rekomendasi, tentu saja merupakan hal lain. Di sini, saya melihatnya ada campur tangan atau lobi-lobi politik dari pihak istana. Dalam hal ini, siapa lagi kalau bukan Presiden Jokowi sendiri.
Setidaknya, hal tersebut dibuktikan dengan diundangnya Purnomo oleh Presiden Jokowi ke Istana Kepresidenan, Jumat (17/020). Atau, sebelum pengumuman rekomendasi Gibran - Teguh, dibacakan.
Hasil pertemuan tersebut, Purnomo mengaku, diberitahu Presiden Jokowi, bahwa dirinya gagal maju Pilwakot Solo, digantikan oleh putranya, Gibran. Sebagai timbal baliknya, Purnomo ditawari jabatan.
 "Ya ada (tawaran timbal balik), tapi bagi saya ndak perlu," ungkap Purnomo, Jumat (17/7). Detikcom.
Preseden Buruk Bagi Jokowi
Sekedar mengingatkan, pada tulisan di atas saya sempat menyinggung tentang rasa bangga pada Gibran yang mendadak sirna, setelah sadar siapa dia sebenarnya.
Rasa bangga ini makin hilang tak berbekas, setelah media mainstream ramai memberitakan pengakuan Ahmad Purnomo setelah bertemu Presiden Jokowi.
Kenapa?
Pasalnya, dipilihnya Gibran oleh DPP PDI Perjuangan bukan semata-mata potensi apalagi prestasi. Akan tetapi, diduga berkat lobi dan aksi sang penguasa negeri, yang bernama Jokowi.
Jika benar apa yang dikatakan Purnomo terhadap beberapa media massa. Saya rasa, Presiden Jokowi telah melakukan praktik politik nepotisme.
Dan, dalam pandangan saya, hal tersebut merupakan preseden buruk bagi Jokowi. Sebab, bisa jadi mantan Wali Kota Solo ini telah melakukan abuse of power dan upaya nepotisme.
Dengan begitu, semakin memperkuat anggapan atau dugaan sejumlah kalangan, majunya Gibran pada Pilwakot Solo adalah upaya Jokowi untuk melanggengkan dinasti politik. Apalagi, jika menantunya, Boby Nasution pun jadi maju pada Pilwakot Medan, Sumatera Utara.
Iya, maaf jika demikian halnya, Presiden Jokowi tak ada bedanya dengan pihak-pihak lain yang menjadikan jabatan atau kekuasaan sebagai hamba.
Tadinya saya berharap, jika Presiden Jokowi tidak sanggup menghentikan praktik oligarki. setidaknya, dia juga tidak turut serta dalam melanggengkan kekuasaan ke anak dan menantunya.
Akhir kata, meminjam judul artikel rekan saya sesama Kompasianer, Bung Ferry W, "Saya Kecewa, Tapi Tak Menyesal Telah Memilih Jokowi".
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H