Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mau tapi Malu ala Partai Demokrat

3 Juli 2020   20:54 Diperbarui: 3 Juli 2020   20:46 1636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bro, yuk, makan. Tenang aja, aku yang bayarin!"

"Ah, sok aja. Aku di sini aja!"

"Udah lah, jangan sungkan-sungkan! Ayo, mumpung aku lagi baik."

"Beneran?"

"Iya. Benar."

"Ya, ayo atuh. He .. he"

PERCAKAPAN di atas menggambarkan seseorang yang sebenarnya mau diajak makan. Namun karena rasa malu, dia tidak langsung mengiyakan ajakan kawannya itu. 

Baru, setelah mengetahui adanya keseriusan dan setengah dipaksa barulah si kawan tadi menerima ajakannya. Istilah kata, hal itu disebut "malu-malu tapi mau".

Nah, istilah malu-malu tapi mau atau sebaliknya mau tapi malu, sepertinya tengah berkembang di tengah-tentah elite politisi.

Penyebabnya adalah mencuatnya isu reshuffle kabinet dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang disampaikan pada acara sidang kabinet paripurna, Kamis (18/06/2020).

Ancaman reshuffle tersebut sebenarnya baru diketahui publik, setelah unggahan video sidang kabinet yang dihadiri oleh para menteri yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) beredar di akun Youtube Sekretariat Presiden, Minggu (28/06/2020).

Tak sedikit yang kaget. Pasalnya dalam unggahan video itu dapat dengan jelas kita saksikan bahwa Presiden Jokowi begitu marah terhadap para pembantunya.

Orang nomor satu di negara ini tak segan menilai para menterinya tidak memiliki sense of crisis dan masih bertindak biasa-biasa saja di masa pandemi virus corona atau covid-19. Sehingga akhirnya munculah narasi pembubaran lembaga dan reshuffle.

Picu Beragam Spekulasi

Pernyataan Reshuffle dari Presiden Jokowi tak urung memicu beragam spekulasi di kalangan publik, terutama para pengamat politik. Mereka lantas mengadang-ngadang siapa saja menteri yang layak direshuffle.

Sejauh ini tak kurang dari 5 nama menteri yang dalam pandangan para pengamat politik layak di reshuffle. Baik itu menteri dari kalangan tekhokrat atau profesional dan kalangan politisi.

Benar tidaknya analisis para pengamat tersebut, tentu semuanya bakal bermuara pada keputusan Presiden Jokowi, sebagai orang yang mempunyai kendali penuh atas reshuffle dimaksud. Satu hal yang pasti, dimana ada reshuffle, jelas bakal ada calon penggantinya.

Hal ini pula menjadi topik diskusi cukup menarik bagi publik dan pengamat politik. Siapa kira-kira nama-nama yang akan menggantikan menteri-menteri yang direshuffle.

Rupanya, para calon pengganti ini dalam pandangan para pengamat tidak hanya datang dari kader partai pendukung yang tergabung dalam koalisi pemerintahan. 

Tapi, juga tidak menutup kemungkinan datang dari partai politik yang sebelumnya berada di barisan oposisi.

Sejauh ini, dalam hipotesis sederhana saya, ada dua partai yang berpotensi siap bergabung dengan koalisi pemerintah jika memang ditawari oleh Presiden Jokowi. Kedua partai itu adalah Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat.

Partai berlambang matahari terbit justru cukup percaya diri bergabung jika tawaran itu ada. Bahkan, mereka siap mengirimkan salah satu kader terbaiknya untuk duduk di kabinet. Kader tersebut namanya Mumtaz Raiz.

Beda dengan PAN, Partai Demokrat lebih terkesan hati-hati dalam menanggapi isu reshuffle ini. Atau lebih tepatnya menurut hemat penulis, partai yang didirikan pada 9 September 2001 masih malu-malu tapi mau.

Setidaknya hal tersebut diutarakan oleh Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat Herman Khaeron, saat ditanya para pewarta tentang sikap Demokrat soal isu reahuffle.

"Tidak tahu. Reshuffle menteri hak prerogatif presiden," ujar  Herman, Rabu (1/7/2020). Dikutip dari SindoNews.com

Saat ditanya bagaimana sikap Partai Demokrat jika ditawari kursi menteri, Khaeron kembali menjawab singkat.

"Tidak boleh berandai-andai, kita tunggu saja realitasnya nanti," ujar anggota Komisi VI DPR RI ini.

Sama halnya dengan jawaban si kawan yang mulanya tidak mau diajak makan pada percakapan di atas, tapi tidak dengan tegas menolak. Begitu pula dalam pandangan saya, Partai Demokrat tidak dengan tegas menyatakan penolakannya.

Dalam hipotesis sederhana saya, dengan tidak secara tegas menolak atau membantah keras atas pertanyaan pewarta dimaksud, boleh jadi Partai Demokrat tak akan segan bakal menerima jika memang ada tawaran dari Presiden Jokowi. Hanya saja untuk saat ini mereka jelas tidak akan mau berterus terang. 

Soalnya, khawatir kejadian di awal-awal Presiden Jokowi bersama Ma'ruf Amin menjabat, Profosal Partai Demokrat mengajukan nama sempat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) masuk dalam kabinet, ditolak. Dan, merekapun akhirnya lebih memilih oposisi.

Maka, untuk saat ini Partai Demokrat lebih memilih diam. Padahal mereka sebenarnya mau tapi malu.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun