Menangis dan bersujudnya Risma di depan IDI menjadi topik yang cukup ramai dibicarakan, baik di media massa maupun media sosial.
Tidak ada yang salah dengan menangis ataupun bersujud. Tapi jika alasannya karena tidak kuat terus dipersalahkan karena kekurang mampuannya mengatasi masalah yang ada, dalam hal ini terkait pandemi covid-19. Penulis jadi berpikir, Risma bukanlah sosok politisi yang bermental baja.
Ketika dia memang merasa terus dipersalahkan karena dianggap tidak atau belum mampu mengatasi masalah. Semestinya tidak usah menangis dan bersujud. Terima segala bentuk kritik tersebut, kemudian analisa dan perbaiki kesalahan. Itu baru seorang pemimpin yang kuat.
Jika, mental Risma masih rapuh serta tidak tahan dengan segala kritik, penulis merasa bahwa Wali Kota Surabaya ini tidak cukup pantas untuk diusung menjadi salah seorang kandidat pada Pilpres 2024.
Tentu saja bukan perkara dedikasi, ketegasan dan jiwa kepemimpinannya yang bekerja untuk rakyat. Untuk hal ini, Risma sudah tak perlu diragukan lagi.
Tapi perlu diingat, sebagai seorang presiden sudah bisa dipastikan bahwa tekanan politik, kritikan atau permasalahannya bakal jauh lebih besar dibanding hanya sebagai Wali Kota. Dengan begitu secara otomatis dibutuhkan mental yang juga jauh lebih besar.
Dan, penulis tidak melihat bahwa aspek kekuatan mental itu pada diri Tri Rismaharini.
Jadi, menurut pembaca, masih layakah Risma di calonkan menjadi presiden? Tentu saja para pembaca di luar sana memiliki opini dan jawaban masing-masing.
Salam
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H