Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Barcelona is Messi, Liverpool Hebat, tapi Timnas 87 Luar Biasa

19 Juni 2020   17:49 Diperbarui: 19 Juni 2020   17:42 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JUJUR, penulis adalah salah seorang yang sangat menggemari olah raga sepak bola. Sebagaimana layaknya para penggemar sepak bola, penulis pun pastinya memiliki klub pavorit.

Sayangnya, penulis bukan fans klub yang setia pada satu klub saja. Ada dua klub yang selama ini sangat dekat di hati. Sehingga dalam setiap laga-laganya yang disiarkan langsung oleh televisi, hampir dipastikan selalu menyempatkan diri untuk menontonnya. Tak peduli dini hari sekalipun, pasti dipelototin.

Kedua klub sepak bola yang telah membuat penulis jatuh cinta itu adalah klub peserta La Liga Spanyol, Barcelona dan Klub Liga Inggris, Liverpool.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa penulis menyukai kedua klub sepak bola eropa dimaksud. He .. he, pede aja, lagi.

Alasan pertama penulis pilih Barcelona sebagai klub tambatan hati karena klub asal Catalan ini hampir selalu mampu menampilkan permainan sepak bola yang atraktif, menghibur dengan gaya tiki takanya. Terutama waktu klub ini masih dibesut oleh Pep Guardiola.

Satu dua sentuhan bola yang dimainkan oleh para punggawanya benar-benar telah menyihir penulis untuk langsung jatuh cinta pada klub raksasa asal Spanyol ini.

Kedua, adanya sosok Lionel Messi. Alasan ini sebenarnya yang benar-benar membuat jatuh cinta pada Bercelona. Dengan kehadirannya di klub ini disertai skill individu yang sangat luar biasa menjadikan sepak bola dan gelar terasa mudah di dapat.

Ya, karena Messi pula hingga saat ini Barcelona menjadi salah satu klub sepak bola yang disegani oleh klub-klub manapun.

Betul, permainan satu dua sentuhan atau tiki-taka ala pep yang diperagakan sempurna oleh punggawanya, terutama sang play maker jempolan Xavi Hernandez dan Andre Iniesta plus Messi sebagai juru gedornya nyaris tak terlihat lagi.

Tapi, dengan masih adanya si kutu julukan Messi, setidaknya Barcelona masih mampu menampilkan permainan-permainan magisnya. Dan yang mampu melakukan itu hanyalah Messi.

Dengan kata lain, selama Messi masih bermain di Barcelona. Maka, selama itu pula rasanya penulis akan menjadi fans beratnya klub peraih lima tropy liga champion tersebut.

Kenapa Liverpool?

Sedangkan alasan menyukai Liverpool sebenarnya berawal kegemaran penulis waktu SD membaca surat kabar mingguan khusus sepak bola.

Dalam surat kabar tersebut, penulis pernah membaca tentang histori atau sejarah kegemilangan tim asal kota pelabuhan ini di tahun 70 an hingga 80-an, sebelum akhirnya diambil alih oleh keperkasaan Manchester United saat di tukangi oleh Sir Alex Perguson.

Dari sana mulai tertarik dengan klub sepak bola satu ini. Sayang, selama menekadkan diri jadi penggemar The Reds julukan liverpool. Penulis tak pernah sekalipun menyaksikan Liverpool juara gelar juara liga primer.

Meski begitu, penulis tak kecewa. Toh, mereka menjuarai kompetisi yang lebih tinggi, yakni Liga Champion.

Gelar Liga Champion pertama yang pernah penulis saksikan langsung lewat layar kaca adalah pada musim 2004/2005 saat melawan klub raksasa asal Italia, AC Milan.

Kala itu benar-benar pertandingan yang sangat dramatis, dimana The Reds harus ketinggalan lebih dulu dengan tiga gol tanpa balas, lewat sepasang gol Herman Crespo dan satu gol dari bek legendaris Milan, Paolo Maldini.

Namun keajaiban Istambul terjadi. Keunggulan tiga gol Milan mampu disamakan oleh The Reds, lewat gol sang kapten kesebelasan, Steven Gerard, kemudian disusul Vladimir Smicer dan Xabi Alonso.

Kedudukan sama kuat ini bertahan hingga babak tambahan waktu usai. Pertandingan pun harus dilanjutkan lewat babak adu penalti.

Mental pemain Milan yang sudah rontok berhasil dimanfaatkan The Reds, hingga babak tos-tosan ini dimenangkan pasukan Rafael Benitez itu.

Musim 2017/2018 The Reds kembali mampu masuk final. Sayang dalam final kali ini harus bisa mengakui lawannya Real Madrid.

Tapi kekecewaan di final tersebut mampu ditebus pada final berikutnya musim 2018/2019. The Reds keluar sebagai juara setelah sukses menaklukan sesam tim liga primer Inggris, Totenham Hotspur.

Untuk musim 2019/2020 memang kesempatan Liverpool mempertahankan gelar Liga Champion telah pupus. 

Tapi ada satu hal yang paling ditunggu-tunggu oleh fans The Reds di dunia, yakni tropy liga primer Inggris.

Betapa tidak, tim sekota dengan grup musik legendaris The Beatles ini terakhir kali mencicipi gelar prestisius domestik ini pada musim 1989/1990 atau tiga dekade silam. Tentunya merupakan penantian yang sangat lama bagi klub sebesar dan sehebat Liverpool.

Peluang untuk mendapatkan tropy liga primer ini bukan lagi mimpi. Musim ini sepertinya akan terwujud. Liverpool hanya butuh dua kemenangan lagi dari sembilan pertandingan sisa atau enam poin tambahan untuk bisa mengunci gelar.

Rasanya jika tidak ada keajaiban, enam poin tambahan ini bukan perkara yang terlalu sulit bagi Mohamad Salah dan kawan-kawan.

Itulah dua tim sepak bola pavorit penulis. Barcelona karena ada Messi dan Liverpool karena tim Hebat.

Tinta Emas Sepak Bola Nasional

Boleh jadi, penulis adalah fans dari Barcelona dan Liverpool. Meski begitu bukan berarti tidak mencintai timnas Indonesia.

Jika disuruh memilih, sudah pasti penulis akan memilih timnas dibanding dengan Barcelona dan Liverpool. Meski prestasi timnas masih jeblok dan jauh dari kata membanggakan dari segi prestasi.

Jangankan untuk level Asia atau bahkan Dunia, sekedar bersaing di level Asia Tenggara pun, timnas Indonesia masih kembang kempis. Jauh di bawah Thailand dan Vietnam.

Kendati demikian bukan berarti timnas Indonesia belum pernah menorehkan tinta emas. Tim Garuda pernah meraih medali emas level Asia Tenggara atau ajang Sea Games sebanyak dua kali. Yakni pada tahun 1987 dan 1991.

Kedua gelar ajang Sea Games tersebut jelas sangat membanggakan kita sebagai warga negara Indonesia.

Tapi, karena raihan emas yang diperoleh pada Sea Games 1987 adalah pertama kalinya, jelas ini merupakan raihan yang sangat luar biasa dan akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah perjalanan skuad Garuda dari masa ke masa, setelah di final mengalahkan musuh bebuyutannya Malaysia dengan skor tipis 1-0.

Ribut Waidi si Pencetak Gol Tunggal

Dikutip dari Bola.com, The boys of 1987, meraih juara berkat gol dramatis Ribut Waidi pada menit ke-91. 

Ribut membuat Stadion Utama Senayan bergemuruh. Pasalnya, sejak SEA Games digelar 1959 (kala itu bernama Southeast Asian Peninsula Games), Indonesia belum pernah jadi juara.

Pencapaian terbaik Indonesia hanya jadi finalis pada edisi 1979. Pada saat itu Indonesia juga bertindak sebagai tuan rumah. Namun Tim Merah-Putih kalah dari Malaysia 0-1.

Kemenangan pada laga puncak SEA Games 1987 juga menjadi ajang balas dendam. Pertama kalinya Indonesia meraih medali emas sekaligus menghentikan dominasi Thailand dan membenamkan negara tetangga, Malaysia.

Langkah Indonesia menuju partai final sebenarnya amat berliku. Pada fase penyisihan, Ricky Yakob cs maju ke semifinal dengan status runner-up di bawah juara bertahan Thailand.

Saat penyisihan, kedua tim bermain imbang 0-0. Indonesia memastikan satu tempat di empat besar setelah meraih kemenangan 2-0 atas Brunei Darussalam.

Pada babak semifinal, Garuda bersua Burma (sekarang Myanmar) dan menang telak 4-1. Pada laga lain, Malaysia menghantam Thailand 2-0. Uniknya, Tim Harimau Malaya saat itu pun juga melaju ke semifinal dengan status runner-up Grup A.

"Kami melangkah ke SEA Games 1987 dengan percaya diri. Persaingan sangat ketat pada waktu itu. Ada keyakinan dalam diri kami untuk meraih juara," kata Rully Nere, salah satu gelandang senior yang sudah berpengalaman di SEA Games.

Menghadapi Malaysia pada laga final membuat pemain Timnas Indonesia sempat tak bisa tidur.

Rivalitas kedua negara dan tuntutan meraih juara 'menghantui' para pemain. Namun, hal itu justru menjadikan mental mereka tangguh dan sukses melewati pertandingan melelahkan serta menang lewat gol pada menit akhir.

Itulah sekelumit kisah sukses timnas Sea Games 1987. Meski levelnya baru sebatas Asia Tenggara, bagi penulis prestasi ini sungguh luar biasa.

Bahkan jika bisa memohon, penulis rela meninggalkan Barcelona dan Liverpool asal prestasi luar biasa timnas 1987 bisa terulang kembali oleh timnas Indonesia saat ini.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun