Hingga pukul 9 malam waktu Surabaya, timeline (TL) twitter saya dipenuhi dengan ucapan selamat jalan Pak Sapardi. Bahkan tak sedikit karya beliau direpublish oleh beberapa akun twitter dengan ribuan pengikut.
Dari sekian karyanya yang muncul di tl twitter, mata saya berhenti pada tulisan "Kita Abadi, yang Fana itu Waktu".
Secara lahiriah saya bukanlah orang Minang yang tumbuh kembangnya dilingkungan sastra. Atau orang melayu yang tutur katanya hari-hari dipenuhi dengan majas.
Sehingga ketika membaca tulisan itu, pikiran saya pun kemana-mana. Bertanya apakah memang kita abadi? Â Ataukah itu hanya ucapan hiperbola yang sengaja dituliskan oleh Pak Sapardi untuk menggambarkan seberapa superiornya manusia?
Riset amatir dengan bantuan google pun saya lakukan. Hingga saya menemukan karya lain Pak Sapardi dengan judul "Pada Suatu Hari Nanti".
Benang merah sedikit saya temukan di sini. Pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi, Â tapi dalam sajak-sajak ini kau tak akan kurelakan sendiri. Begitu kira-kira sepenggal kalimat yang beliau tuliskan.
Hakulyakin pemuja Cartesian tak asing dengan dunia material dan imaterial. Sederhananya material adalah dunia realiata yang kita hidup saat ini. Sudah barang tentu waktu ada didalamnnya.
Sementara imateril adalah pikiran yang senantiasa abadi dan tak terikat atau bahkan dibatasi oleh waktu. Pikiran justru menembus lorong waktu, yang mampu menghapus setiap jejak kaki yang ragu berjalan.
Saya teringat dengan sastrawaan kenamaan asal Blora, Pramoedia A. Toer. Pernah suatu waktu ia ditannya mengapa dipengasingannya ia terus menulis. Dengan santai ia tersenyum dan menjawab, menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Mungkin abadi yang dimasud oleh Pak Sapardi adalah ingatan akan setiap larik-larik sajaknya yang selalu kita cari setelah kepergiannya. Ini bisa temukan dikarya pada suatu hari nanti.