Mohon tunggu...
Semprianus Mantolas
Semprianus Mantolas Mohon Tunggu... Jurnalis - Pecandu Kopi

Baru belajar melihat dunia, dan berusaha menyampaikannya melalui simbol (huruf)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Film Horor Bikinan Pemerintah, Publik Dibuat Takut Terpingkal-pingkal

4 Juli 2020   04:06 Diperbarui: 4 Juli 2020   04:28 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI Jokowi dan video Si Manis Jembatan Ancur/ foto: tribunnews.com

Publik Indonesia hari-hari ini seolah dipertontonkan satu genre film yang sama. Film bergenre horor.

Dalam film horor, penonton tahu betul akan kemunculan hantu, namun tetap saja kaget dan tenggelam dalam ketakutan semu di setiap adegan.

Sensasi ketakutan saat menonton film horor kini terbawa dalam laku masyarakat kita hari-hari ini. Pemerintah sejatinya menjadi sutradara terbaik yang mampu membangkitkan ketakutan tersebut.

Bila tak percaya, mari kita cek beberapa adegan menakutkan dalam tiap dimensi kebijakan pemerintah. 

Dari dimensi kesehatan, belum genap satu minggu, kurang lebih telah ada 2,3 juta lebih masyarakat Indonesia yang menurunkan kelas iuran BPJS kesehatan ke kelas 3.

Penurunan masal ini dilakukan akibat kebijakan Presiden Jokowi melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Alih-alih berharap iuran jaminan kesehatan diturunkan, pemerintah justru menaikan iuran ditengah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Lucunya adegan kenaikan ini telah diketahui sejak akhir 2019 lalu. Dimana Jokowi melalui Perpres nomor 75 tentang jaminan kesehatan juga sempat menaikan tarif iuran, namun akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Masih dari dimensi kesehatan, adegan horor lainnya adalah limbah medis Covid-19 bercampur dengan sampah domestik dan banyak dijumpai di TPA Bekasi.

Mungkin sebagian dari kita merasa ini tak menakutkan, tapi bagaimana dengan nasib para pencari sampah. Keluar bekerja dalam keadaan sehat, pulang bukan uang yang dibawa melainkan virus mematikan.

Padahal sebelumnya pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengklaim bahwa limbah Covid-19 tak akan meresahkan masyarakat karena telah ditangani secara tepat.

Surat edaran sakti dari mentri DLH terkait pengelolaan limbah infeksius (limbah B3) dan sampah rumah tangga dari penanganan coronavirus disease (Covid-19) dianggap mampu menangani masalah tersebut. Nyatanya hanya adegan horor yang kita jumpai. 

Berikutnya dari dimensi pendidikan. Sepanjang bulan Juni, ada banyak sekali diskusi-diskusi ilmiah yang diadakan oleh mahasiswa tetiba dibubarkan begitu saja.

Lihat saja pembubaran diskusi di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Adegan teror bahkan menyentuh lingkungan kampus yang seharusnya menjadi mata air akal sehat. 

Orang tentu berpendapat pembubaran tersebut karena pemateri yang dihadirkan adalah buronan negara dan lain sebagainya, tapi bila kita melihat secara hirarki kekuasaan dapat dijumpai satu sinopsis baru.

Perlu diketahui sejak 2017 lalu, rektor selaku pimpinan tertinggi satu universitas ditentukan oleh presiden. Sampai disini sudah bisa lihat sinopsis yang saya maksud?

Apabila belum, mari kita jernihkan dengan silogisme berikut. Bila (calon) rektor yang diajukan oleh seluruh civitas akademika kampus tidak mendukung atau bertentangan dengan pemerintah maka presiden dapat tidak mengangkatnya sebagai rektor. Ataupun sebaliknya memberhentikannya. Sampai disini jelas, artinya presiden pun punya kontrol dalam lingkup universitas. 

Belum lagi demo berjamaah yang dilakukan mahasiswa baik di Malang, Bandung, Jakarta terkait mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Padahal tugas negara sesuai amanat UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Rakyatnya putus sekolah akibat biaya yang tinggi, pemerintah beralibi kita malas sekolah.

Walau begitu, tak selamanya film horor harus selalu menegangkan. Tentu ada beberapa adegan komedi, sebagai anti klimaks dari ketegangan tersebut.

Kejadian ini dapat dilihat pada bidang hukum. Jutaan meme lucu bertebaran di medsos pasca Jaksa Penuntut Umun (JPU) menuntut pelaku penyiraman Novel Baswedan dengan kurungan penjara 1 tahun.

"Mau taruh dimana muka kita para sarjana hukum ini pak jaksa?" begitu kira-kita salah satu pernyataan nitezen yang budiman

Adegan serupa juga kita temui pada dimensi politik. Di saat sejumlah aktivis gencar-gencarnya membela korban pelecehan seksual, para anggota DPR RI yang terhormat justru mengeluarkan RUU PKS (penghapusan kekerasan seksual) dari Prolegnas.

Alasannya pun terbilang konyol. Hal ini dapat kita cermati dari pernyataan Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PKB, Marwan Dasopang.

"Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit."

Pak, pak yang sulit itu bukan membahas RUU, tapi mengejar dia yang sudah dimiliki orang lain pak. Hahaaa

Ya tapi mau bagaimana pun, adegan ini telah dipertontonkan kepada publik. Sebagai penonton yang baik, kita menunggu sampai filmnya selesai diputar. 

Toh si sutradara pun belum lama ini telah berbicara dengan keras bahwa ia akan pertaruhkan segalanya, bahkan reputasi politiknya pun ikut dipertaruhkan. 

Sialnya adalah kita masyarakat kecil yang kadung percaya dengan si sutradara hingga membeli tiket tersebut. Namun tontonan yang ditampilkan tidak sesuai dengan harapan.

Bila kejadian sudah seperti ini, apakah kita masih percaya dengan si sutradara?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun