Mohon tunggu...
Semprianus Mantolas
Semprianus Mantolas Mohon Tunggu... Jurnalis - Pecandu Kopi

Baru belajar melihat dunia, dan berusaha menyampaikannya melalui simbol (huruf)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Drama Diskriminasi Autisme di Dunia Pendidikan yang Tak Kunjung Usai

2 April 2020   14:49 Diperbarui: 2 April 2020   14:56 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gini loh ma, apa gak sebaiknya Verell itu di homeschooling saja," kata Veronique

Tak sampai di situ saja, Veronique kemudian mengambil tabletnya menunjukkan kepada Jeanny (Ibu Verell) homeschooling dan sekolah berkebutuhan khusus yang cocok untuk Verell.

"Ini loh ma dikirim ke sini saja," kata Veronique memberi saran.

Kisah di atas terjadi di salah satu sekolah dasar (SD) di kota Malang pada akhir 2018 lalu. Percakapan tersebut melibatkan kepala sekolah, Veronique dan orang tua siswa penyandang autisme ringan.

Singkat cerita, Verell (12) akhirnya "dikeluarkan" dari sekolah tersebut karena autismenya dan harus pindah ke sekolah lain. Ancaman yang diberikan sekolah, bila Verell tak kunjung hengkang dari sekolah maka ia tidak akan naik ke kelas 6.

(Baca laporan indepth Suara Indonesia)

Diskriminasi Pendidikan

Verell bukanlah satu-satunya anak yang mendapatkan perlakuan diskriminasi di sekolah. Cerita serupa juga dialami oleh Gevin, yang telah mengalami autisme sejak masih bayi.

Disadur dari CNN, orang tua Gevin, Lusiana Handoko mengaku selalu kesulitan dalam memberikan pendidikan kepada anaknya. Dirinya selalu terjegal dengan institusi pendidikan yang ada.

Alhasil, ia harus 'nomaden' dalam memasukkan Gevin dari satu sekolah baru ke sekolah baru lainnya, demi pendidikan sang anak. Menurutnya, sekolah-sekolah di Indonesia sendiri enggan menerima murid penyandang autisme.

Musababnya pun tak pasti. Apakah karena takut akan akreditasi sekolah merosot atau karena tidak tersedianya tenaga pengajar autisme, hanya sekolah yang tahu alasannya.

Bahkan dalam laporan infografis yang dikeluarkan tirto pada April 2017 lalu menyebutkan, 17% anak penyandang autisme sering diskros dari sekolah. Parahnya lagi 48% dari anak yang diskors tersebut mengalami skors sebanyak 3 kali. Sementara untuk jumlah siswa penyandang autisme yang dikeluarkan dari sekolah sebanyak 4%.

Autisme dan Resolusi PBB 62

Pada dasarnya masalah autisme ini menjadi problem yang tak pernah habis dibahas. Bahkan organisasi sebesar PBB sendiri pun turut andil dalam penanganan autisme.

Tahun 2007 lalu, organisasi yang beranggotakan 192 negara ini mengeluarkan Resolusi PBB No 62/139 tahun 2007 terkait autisme.

Inti dari resolusi tersebut adalah mengharuskan pemerintah, institusi dan publik di seluruh dunia merangkul dan menerima individu dengan autisme sepenuhnya.

Bahkan ditetapkannya 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Internasional sendiri, seyogyanya dijadikan momentum menyuarakan kepedulian bagi individu dengan autisme.

Pertanyaannya, apakah resolusi itu dilakukan oleh negara Indonesia? Biarkanlah rumput bergoyang yang menjawab!

Tak hanya itu, pada peringatan World Autism Awareness Day di Markas Besar PBB New York pada 2019 lalu, PBB memfokuskan peningkatan penggunaan teknologi bantu bagi individu dengan autisme sebagai sarana menghilangkan hambatan untuk partisipasi penuh mereka secara sosial, ekonomi politik, serta dalam mempromosikan kesetaraan, keadilan dan inklusi.

Waktu terus berganti, saya berharap fokus penanganan autisme bukan hanya pada penerimaan mereka pada lingkungan sosial melainkan pada institusi pendidikan.

Mengingat, hingga saat ini siswa penyandang autisme yang masuk di sekolah-sekolah umum selalu terbengkalai dengan dukungan pembelajaran dan pemberian akomodasi pembelajaran yang lebih kepada anak autis.

Saya teringat dengan pepatah lama, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Sekolah saja sudah menunjukan sikap diskriminasi terhadap anak penyandang autisme, apalagi murid-muridnya.

Celakanya lagi apabila diskriminasi siswa terhadap anak autisme dilakukan dan sekolah membenarkan itu. Saya harap itu tidak terjadi.

Jadi mari, di hari peduli autisme sedunia ini, bersama-sama kita hilangkan diskriminasi terhadap para penyandang autisme khususnya dalam dunia pendidikan.

Sehigga amanat UUD'45 dan Pancasila dapat ditunaikan, yakni "Pendidikan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun