Mohon tunggu...
Mas Kumambang
Mas Kumambang Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati hukum dan politik Indonesia.

Adillah sejak dalam pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Nada Berbeda Pimpinan KPK Menyikapi Putusan Kasasi SAT

21 Juli 2019   15:49 Diperbarui: 21 Juli 2019   15:56 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meski sempat "ngomel" menerima putusan pembebasan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya melaksanakan keputusan Mahkamah Agung (MA).

SAT dibebaskan dari tahanan. Ia menghirup udara bebas, setelah sebelumnya dihukum 13 tahun oleh Pengadilan Tipikor, bahkan diperberat menjadi 15 tahun pada tingkat banding.

KPK tidak bisa berbuat lain kecuali membebaskan SAT dari tahanan. Bagaimanapun kesalnya, KPK harus menghormati putusan lembaga peradilan kasasi yang berkekuatan hukum tetap. Sesuai aturan yang berlaku, KPK tidak bisa melakukan upaya peninjauan kembali (PK) atas kasus SAT tersebut.

Bagi KPK, keputusan MA memang sangat menyakitkan karena selama ini tidak ada terdakwa yang bisa bebas dari jerat hukum, kecuali mereka yang memenangkan gugatan pra-peradilan. Sampai di situ jiwa besar KPK terlihat jelas.

Namun publik melihat KPK seolah menyimpan "dendam" untuk melanjutkan perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) tahun 2004. Bukan SAT sebagai targetnya, melainkan orang lain yang dinilai "bersama-sama" SAT menyebabkan kerugian negara.

Dalam keputusan majelis hakim Tipikor atas SAT, hanya disebut "bersama-sama" tanpa menyebutkan siapa mereka. "Mengadili menyatakan terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana penjara selama 13 tahun pidana denda Rp 700 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti kurungan tiga bulan," ucap hakim ketua Yanto saat membacakan putusan, Senin (24/9/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta.


Atas alasan "bersama-sama" itu, KPK sudah menetapkan Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN), sebagai tersangka. Awalnya, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu dituding melakukan misrepresentasi atas pinjaman para petambak, namun kemudian ada tudingan bahwa IN berperan dalam proses perundingan sehingga keluar SKL BLBI-BDNI oleh BPPN masa kepemimpinan SAT.

Pemahaman umum, kalau pelaku utama tidak terbukti melakukan kejahatan, pelaku lain yang dikaitkan dan dipandang "bersama-sama" semestinya juga dibebaskan. Apalagi, SKL itu kan produk pemerintah. Pihak lain hanya menerima saja keputusan itu.

Belum satu pandangan
Sejauh yang bisa diikuti dari pemberitaan media, para pimpinan KPK terlihat tidak satu pandangan mengenai apa yang akan ditempuh komisi setelah putusan MA tersebut.

Agus Rahardjo berkata ada dua perkara yang harus tuntas akhir tahun ini. Yaitu kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan e-KTP. "Semaksimal mungkin kita selesaikan. Jadi seperti BLBI kita kan sudah menersangkakan baru ya, jadi insya Allah itu bisa selesai sebelum kita meninggalkan tugas. Perkembangan kasus e-KTP juga begitu kita sudah menaikkan beberapa tersangka baru," kata Agus di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (1/7).

Agus belum bicara secara spesifik mengenai putusan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung. Ia berharap kasus-kasus yang telah ditangani KPK dilanjutkan oleh pimpinan KPK yang baru. "Mudah-mudahan nanti paling tidak untuk kasus berikutnya lebih terbuka bisa diselesaikan oleh pengganti kami," ujar Agus.

Laode M Syarif berkata KPK menghormati putusan MA. Meski demikian, KPK merasa kaget. Putusan ini 'aneh bin ajaib' karena bertentangan dengan putusan hakim PN (pengadilan negeri) dan PT (pengadilan tinggi).

"Ketiga hakim kasasi berpendapat bahwa Syafruddin Arsyad Temenggung dianggap terbukti melakukan perbuatan sebagai mana didakwakan kepadanya, tapi para hakim MA berbeda pendapat bahwa perbuatan terdakwa. Yaitu perbuatan pidana (hakim Salman Luthan), perbuatan perdata (Syamsul Rakan Chaniago) dan perbuatan administrasi (Mohamad Askin)."

"Ketiga pendapat yang berbeda seperti ini mungkin baru kali ini terjadi. Sekarang kami sedang pikir-pikir dan menunggu putusan lengkap dari MA," kata Laode lagi.

Saut Situmorang mengatakan KPK melaksanakan putusan kasasi ini sebagaimana disebutkan dalam amar putusan setelah KPK mendapatkan salinan putusan atau petikan putusan secara resmi.

"KPK sebagai institusi penegak hukum menghormati putusan Mahkamah Agung dalam perkara ini. Namun kami nyatakan juga KPK tidak akan berhenti melakukan upaya hukum dalam perkara ini," sambungnya.

Di lain sisi Alexander Marwata berkata KPK menghormati putusan MA. Nanti kita pelajari pertimbangan MA," kata Alexander (9/7/2019). "Rasa-rasa sih upaya hukum yang bisa dilakukan kan PK," katanya menjawab wartawan di Pusdiklat Sekretariat Negara, Jakarta,Kamis (18/7). "Nanti kita dalami dulu putusan Syafruddin itu apa sih, kenapa bebas gitu kan pertimbangan hakim agung apa itu kan," tambah Alex lagi.

Di kesempatan berbeda Basaria Panjaitan berkata, "Kalau itu sebenarnya sudah pasti. Kita lihat bagaimana penilaian tiga hakim MA tersebut. Yang satu mengatakan itu bukan pidana, yang satu perdata, dan yang satu lagi pelanggaran administrasi," kataya menjawab pertanyaan Majalah Keadilan.

"Jadi kita lihat secara pikir global saja, berarti tidak ada yang mengatakan kerugian itu tidak ada. Dalam Pasal korupsi nomor 32 juga ada yang mengatur bila ditemukan ada kerugian negara, tapi pidananya kita tidak bisa buktikan, maka itu diserahkan ke kejaksaan sebagai pengacara negara. Korupsi juga ada. Jadi upaya pengembalian uang, kerugian negara itu, tetap menjadi fokus kita yang berikutnya. Walaupun putusan ini menyatakan "kalau". Ini "kalau" ya...Jadi masih banyak celah-celah," kata Basaria lagi. (Majalah Keadilan edisi 50, tanggal 15 Juli 2019, halaman 27).

Pemanis Bibir
Lain pimpinan, lain pula pernyataan pejabat KPK yang terus dijejalkan kepada publik. Terakhir Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah, mengatakan pihaknya sudah dua kali melayangkan surat panggilan kepada SN dan IN. Ia bahkan mempertimbangkan untuk memasukkan pasangan suami istri itu ke dalam daftar pencarian orang (DPO). "Ya, masih kami pertimbangkan langkah hukum tersebut," kata Febri Diansyah, Minggu (21/7).

Langkah KPK tersebut tentu saja sangat disesalkan pihak SN  dan IN. "Pernyataan bahwa KPK menghormati Putusan MA ini hanya pemanis bibir saja, karena ternyata juru bicara dan pimpinan KPK menyatakan tetap akan memanggil Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih Nursalim (IN) sebagai tersangka," ujar kuasa hukum Maqdir Ismail.

Tindakan KPK secara sengaja menempelkan copy surat panggilan di papan pengumuman PN Jakarta Pusat, seolah-olah telah menjalankan panggilan sesuai dengan hukum, menurut Maqdir, adalah bukti bahwa KPK tidak menghormati putusan MA.

"Sekiranya KPK benar menghormati Putusan MA, maka tidak selayaknya mereka tetap memanggil SN dan IN sebagai tersangka, mengingat dalam Surat Dakwaan SAT dia didakwa melakukan perbuatan pidana bersama-sama dengan SN, IN dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti".

"Dengan demikian berarti bahwa kedudukan SN dan IN sebagai kawan peserta dari SAT dalam melakukan perbuatan pidana adalah batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya", tegas Maqdir pula.

Mengapa KPK ngotot untuk menjerat SN dan IN setelah putusan kasasi tersebut? Bagaimana nanti, seandainya SN memenangkan gugatan terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan salah satu auditornya, terkait audit investigatif 2017 yang menjadi dasar KPK menjerat SAT? Bukankah hal tersebut bisa menjadi tamparan kedua bagi KPK atas kasus yang sama?


KPK memang memiliki mandat besar dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun, tetaplah harus memperhatikan asas-asas KPK seperti diatur dalam pasal 5 UU 30/2002, antara lain, asas kepastian hukum dan keterbukaan.

Dalam penjelasan resmi pasal tersebut, (a)"Kepastian hukum" adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan. Sedangkan (b) "keterbukaan" adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif.

Maka, suara-suara dari KPK masih mengundang pertanyaan, bagaimana kepemimpinan kolektif mengejawantah dalam kebijakan KPK keluar. Jangan sampai publik menangkap kesan ada kesenjangan kebijakan antara pimpinan dan lapisan pengambil keputusan di bawahnya. (Mas Kumambang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun