Cerita sumbang tentang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bukan lagi hal baru. Sudah terlalu sering terdengar auditor yang memainkan angka-angka temuannya di lapangan, bahkan mereka yang meminta imbalan kepada pihak terperiksa. Beberapa auditor BPK telah dijebloskan ke penjara karena kasus-kasus penyelewengan yang mereka lakukan.
Publik mencatat permainan sejumlah auditor yang menyalahgunakan kewenangannya, misalnya, dalam beberapa kasus besar yang terbongkar. Kasus suap di Kementrian Desa Tertinggal, Ditjen Hubla dan PT Jasa Marga beberapa waktu lalu memperlihatkan bahwa pemeriksaan dan hasil audit BPK dapat diatur, bahkan, konon, "diperjualbelikan". Hal itu juga membuktikan para auditor dapat disuap, tidak independen, setidaknya ada vested interest.
Kepercayaan publik terhadap lembaga tinggi Negara ini terus menurun karena berbagai penyimpangan tersebut. Ini sangat memprihatinkan. Seharusnya BPK menjadi lembaga terpercaya untuk membantu penghematan, efektivitas dan penyelamatan uang Negara.Â
Tentu masih ada auditor BPK yang bersih dan bertanggungjawab, namun "akibat nila setitik, rusak susu sebelanga". Publik tak pelak lagi mempersepsi keliru dan mempertanyakan kualitas hasil pemeriksaan dan audit BPK.
Indonesian Corruption Watch (ICW) pernah mengungkapkan bahwa  dalam kurun 2015-2017 terdapat tiga kasus untuk pemberian WTP, satu kasus untuk predikat Wajar dengan Pengecualian (WDP), satu kasus untuk mengubah hasil temuan BPK dan satu kasus untuk membantu kelancaran proses audit BPK. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa proses audit bisa dipermainkan dan dijadikan tawar menawar.
Pelik dan rumitnya permainan para auditor di lapangan juga pernah diakui oleh Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara. Ia pernah mengatakan kepada media, sulit untuk mengendalikan 'permainan' auditor di lapangan yang sedang memeriksa lembaga sebelum memberikan opini."Yang dilakukan itu temuan yang dihilangkan, itu perorangan. Dia kan nemu masalah belum lapor Ketua, tim bisa saja itu yang dimainkan. Itu enggak ada yang bisa kendalikan," kata Moermahadi suatu kali.
Kita memaklumi betapa peliknya masalah ini, yang tentu mempengaruhi kualitas pemeriksaan oleh auditor dan laporan BPK sendiri. Bila kualitas pemeriksaannya rendah maka hal tersebut berpengaruh besar terhadap efektivitas penggunaan anggaran oleh pemerintah. Kalau pemeriksaan dan audit bisa diatur-atur maka efektifitas pemeriksaan rendah dan upaya penghematan anggaran pun tidak optimal.
Audit pesanan KPK
Hari-hari ini kita menyaksikan gugatan seorang warga yang merasa dirugikan karena kualitas audit BPK hasil pesanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perkara gugatan tersebut Rabu (10/7) ini disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang. Meski ini persidangan perdata, kasus ini menyita perhatian publik karena yang digugat adalah lembaga tinggi negara serta ada campurtangan KPK.
Pengacara Otto Hasibuan mewakili Sjamsul Nursalim, menggugat auditor I Nyoman Wara dan BPK karena dinilai melakukan tindakan melawan hukum. "Dasar gugatan kami adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH), karena kami melihat BPK melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengeluarkan audit yang tidak independen dan objektif dan tidak sesuai UU BPK," ujar Otto.
Dikatakan, dalam Pasal 1 angka (9) UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan disebutkan, "Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara".
Otto berpandangan BPK tidak independen dan obyektif karena hanya menerima data secara sepihak dari KPK. Padahal menurut aturan umum audit, semua pihak yang berkepentingan harus dikonfirmasi. Dalam konteks ini, BPK seharusnya mengkonfirmasi Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) serta pemiliknya, Sjamsul Nursalim, yang menerima kucuran dana BLBI.
Sjamsul Nursalim dan BDNI tidak pernah diperiksa oleh BPK. Kedua pihak tersebut selama ini belum pernah menerima surat panggilan. Atas alasan inilah ia menilai audit investigasi yang dilakukan BPK cacat hukum.