Dalam legenda anak negeri, kita mengenal tokoh perempuan termasyur yang hingga detik ini masih terdengar gaungnya. Ken Dedes, sosok perempuan yang namanya tertulis dalam naskah Pararaton karena sejak awal sudah memiliki tanda-tanda sebagai perempuan nareswari yang kelak dari rahimnya lahirlah Raja-Raja Jawa.
Atau Roro Jonggrang, putri cantik dari kerajaan Boko yang sanggup menjungkir-balikkan cinta Bandung Bondowoso karena permintaan seribu candi, hingga berakhir dengan dikutuknya sang putri menjadi arca. Kita juga mendengar perjuangan cinta Roro Mendut yang rela berjualan rokok demi cintanya kepada Pronocitro.
Di era perjuangan, kita juga mengenal pejuang perempuan yang merelakan jiwa raganya demi membebaskan negeri ini dari imperialisme barat. Cut Nyak Dien, bersama suaminya ikut mengangkat senjata melawan Belanda pada masa perang Aceh. Martha Christina Tiahahu, anak seorang kapitan yang berjuang melawan Belanda dan akhirnya gugur dalam sebuah pertempuran di laut Banda.
Nyi Ageng Serang, pejuang perempuan yang aktif memimpin pasukan dan membantu perjuangan Pangeran Diponegoro. Kita juga mengenal Dewi Sartika dan RA Kartini, perempuan dari golongan priyayi yang teguh menyuarakan kesetaraan.
Atau kita mendengar kisah laksamana wanita pertama di dunia. Mempraktikkan emansipasi wanita jauh sebelum negeri-negeri Eropa dan Kartini mendengungkannya.Â
Laksamana Keumalahayati, perempuan yang tersulut dendam karena suaminya mati sahid di tangan armada laut Portugis dalam perang Teluk Haru. Menghimpun istri-istri yang ditinggal mati sahid suaminya untuk mengangkat senjata. Mengkoordinir Inong Balee yang berkekuatan seratus armada perang.
Bergeser jaman, bergeser pula wajah perempuan dalam lukisan sejarah. Meski saat ini desakan kesetaraan gender makin muncul kepermukaan, tetap saja menempatkan perempuan di posisi kedua.
Berbicara mengenai perempuan sepertinya tidak akan ada keringnya, baik perempuan sebagai objek atau subjek kajian. Meski realitanya perempuan sekedar dijadikan objek eksploitasi dari aspek ekonomi, politik, biologis, psikologis, keagamaan dsb.
" Anak perempuan tidak usah sekolah terlalu tinggi, toh akhirnya nanti juga ngurus dapur "
Dikotomi publik yang melahirkan stigma bahwa perempuan terpasung dalam ruang domestik merupakan tanda dari ketimpangan struktur sistem sosial. Dampaknya aktualisasi tentang kesetaraan dan keadilan perempuan untuk berkiprah dalam ranah publik makin sulit.
Aspek yang paling absurd adalah mengagungkan perempuan melalui legitimasi pemahaman atas teks-teks suci agama yang bias gender. Aktibatnya, kita seperti ditarik mundur kebelakang. Perempuan kembali dikungkung, kebebasannya terberangus dan perempuan kembali ke jaman jahiliyah demi menabiskan dogma agama. Miris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H