Mohon tunggu...
Samita Adriyari
Samita Adriyari Mohon Tunggu... profesional -

Life traveler.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Disiplin vs Macet

25 September 2013   17:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:24 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai warga asing di negara tempat saya tinggal, ada begitu banyak hal yang dapat dipelajari (dari pengamatan sehari-hari). Salah satunya adalah ritme hidup yang jauh lebih teratur - bebas macet! Kenapa bisa begitu? Pikir saya.

Menurut hemat saya, hidup yang serba teratur itu berawal mula dari disiplin pribadi. Di sini orang dengan sendirinya tidak buang sampah sembarangan. Tidak parkir sembarangan. Tidak asal comot barang sembarangan. Tidak potong jalan orang sembarangan. Dan 'tidak-tidak' lain sebagainya.

Tapi, bagaimana mereka bisa begitu disiplin ya? Kalau tidak ada yang mengatur dan mengawasi, apa orang pada dasarnya bisa tertib? Kok bisa tidak ada macet separah di Jakarta, misalnya?

Kalau saya tiba pada pertanyaan ini, tampaknya memang budaya itu bermain juga. Malah lakonnya penting sekali dalam drama kehidupan sehari-hari!

Mungkin pada dasarnya, orang Jerman yang terkenal amat disiplin itu dibangun di atas budaya yang juga disiplin? Nah, kalau sudah sampai di sini, biasanya orang cenderung putus asa: "Nah lho! Gimana caranya kita bisa begitu? Lha wong memang budaya kita beda?"

Entahlah. Ini memang jadi seperti teka-teki 'telur vs ayam', yang mana yang duluan. Tapi, kalau kita terus berdalih, tentunya kita tidak akan berkontribusi pada perubahan budaya kita sendiri di tanah air. Bukan begitu?

Baiknya sih kita coba dulu untuk mengatur kehidupan pribadi kita, sambil terus mendukung segala upaya pemerintah untuk menata masyarakat, misalnya Jakarta sekarang ini. Mudah-mudahan lambat laun tercipta keteraturan secara umum sehingga orang-perorangan pun jadi tak dirugikan bila ia berusaha disiplin. (Ketika semua orang di jalan sibuk menerabas lampu merah, sementara kita tertib, kadang malah kita yang rasanya dirugikan, bukan?)

Saat ini saya sungguh menikmati waktu perjalanan menuju tempat kerja. Kalau saya berangkat pk. 09.00, sudah nyaris dapat dipastikan bahwa saya akan tiba di kantor pk. 09.45. Kalau saya mau lebih cepat lagi sampainya, sehabis naik Schwebebahn (semacam kereta gantung), tinggal lanjut naik bus yang tiap 5 atau 10 menit lewat - bukan yang tiap 20 menit. Kendati pilihan ini pun berarti harus naik tangga yang tinggi, tapi saya bisa memangkas 10-15 menit dari total waktu perjalanan.

Lalu, sekitar jam 5 sore, seusai kerja orang masih punya banyak waktu untuk mengerjakan yang lain. Berkebun. Berjalan-jalan sore di tengah kota atau di taman botani. Sekadar duduk-duduk dengan teman sambil minum kopi. Atau berbagai aktivitas peningkat kualitas hidup lainnya. Nyaman, bukan?

Betul. Nyaman sekali rasanya. Apalagi saya lahir dan besar di Jakarta, sempat pula bekerja sekian tahun di kota itu. Waktu 'commuting' 6 jam sehari itu rasanya sudah lumrah. Tiga jam berangkat, tiga jam pulang. Itu belum termasuk waktu sejak bangun tidur dan siap-siap berangkat kerja! Sekarang ini saya heran, bagaimana saya dulu bisa menjalani rutinitas yang begitu panjang ya?

Tapi, saya sadari juga bahwa segala keteraturan ini berpangkal dari disiplin pribadi warga Jerman sendiri, yang akhirnya terinternalisasi menjadi disiplin masyarakat secara umum. Jadi, tidak ada tuh yang namanya perubahan masyarakat yang tidak diawali dari perubahan di tingkat pribadi atau individu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun