Mohon tunggu...
Samin Barkah
Samin Barkah Mohon Tunggu... profesional -

Orang Betawi yang pernah merantau 10 tahun. Baginya hidup harus dibuat simpel dan sederhana. Membagi permasalahan menjadi dua; Masalah prinsip yang yang harus diperjuangkan; Masalah praktis yang bisa disederhanakan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pemberitaan Media Mainstream Sudah Masuk Kategori Ghibah dan Iftira’

25 Mei 2013   23:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:01 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahmad Fathanah telah tertangkap tangan oleh KPK atas tuduhan suap impor daging sapi. KPK kemudian mengembangkan kasus ini hingga menjerat mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq yang kemudian  tersangka ditangkap tangan di kantor DPP PKS. Belum selesai proses peradilan di pengadilan Tipikor, lebih dari dua bulan media mainsteam, TVOne, MetroTV dan MNC Grup, majalah Tempo, detik.com ramai-ramai melakukan perusakan atas kehormatan LHI yang belum diputuskan bersalah oleh pengadilan Tipikor. Konteksnya akan berbeda, jika pengadilan Tipikor telah menetapkan status terdakwa. KPK terus mengembangkan kasus suap impor daging sapi dan melupakan kasus-kasus besar, seperti kasus Century, Hambalang dan lainnya. Isi dan cara pemberitaan media mainstream melupakan etika jurnalis. Apa yang dilakukan media mainstream pada kasus LHI sudah sangat berlebihan. Dalam konteks ini, maka apa yang dilakukan oleh media mainstream sudah masuk dalam kategori ghibah dan iftira’, kebohongan. Ulama salaf, terdahulu merupakan orang-orang yang sangat menjauhi ghibah dan takut terjerumus melakukan hal itu. Di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dia berkata, “Aku mendengar Abu ‘Ashim berkata, “Semenjak aku ketahui bahwa ghibah adalah haram, maka aku tidak berani menggunjing orang sama sekali.” (At-Tarikh Al-Kabir) Al-Imam Bukhari mengatakan, “Aku berharap untuk bertemu dengan Allah dan Dia tidak menghisab saya sebagai seorang yang telah berbuat ghibah terhadap orang lain.” Imam Adz-Dzahabi berkomentar, “Benarlah apa yang beliau katakan, siapa yang melihat ucapan beliau di dalam jarh dan ta’dil (menyatakan cacat dan jujurnya seorang perawi), maka akan tahu kehati-hatian beliau di dalam membicarakan orang lain, dan sikap inshaf, obyektif beliau di dalam tadh’aif, melemahkan seseorang. Lebih lanjut beliau (Adz-Dzahabi) mengatakan, “Apabila aku (Imam Bukhari) berkata si Fulan dalam haditsnya ada catatan, dan dia diduga seorang yang lemah hafalannya, maka inilah yang dimaksudkan dengan ucapan beliau “Semoga Allah tidak menghisab saya sebagai orang yang melakukan ghibah terhadap orang lain.” Dan ini merupakan salah satu dari puncak sikap wara’. (Siyar A’lamun An -Nubala’) “Aku tidak menggunjing seseorang sama sekali semenjak aku ketahui bahwa ghibah itu berbahaya bagi pelakunya.” (Siyar A’lam An-Nubala’) Jika mereka terlanjur menggunjing orang lain, maka mereka langsung melakukan introspeksi diri. Ibnu Wahab berkata, “Aku bernadzar apabila suatu ketika menggunjing seseorang, maka aku akan berpuasa satu hari. Aku pun berusaha keras untuk menahan diri, tetapi suatu ketika aku menggunjing, maka aku pun berpuasa. Kemudian aku berazam apabila menggunjing seseorang, maka aku akan bersedekah satu dirham dan karena sayang terhadap dirham, maka aku pun meninggalkan ghibah.” Berkata imam Adz-Dzahabi, “Seperti itulah sikaf para ulama salaf dan itu merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat.” Bahkan seorang yang melakukan ghibah pada hakikatnya sedang memberikan kebaikannya kepada orang lain yang dia gunjing. Bahkan Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Andaikan aku tidak benci karena bermaksiat kepada Allah, maka tentu aku berharap tidak ada seorang pun di Mesir, ini kecuali aku menggunjingnya, yakni karena dengan itu seseorang akan mendapatkan kebaikan di dalam catatan amalnya, padahal dia tidak melakukan sesuatu.” “Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 235) Ibnu Daqiq Al-Ied berkata, “Kehormatan manusia merupakan salah satu jurang neraka yang para ahli hadits dan ahli hukum diam apabila berhadapan dengannya. (Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra). Pemahaman ulama salaf tentang ghibah sedemikian dalam, hingga mereka selalu waspada akan kata dan sikapnya dalam menilai orang lain. Kita pun bisa bersikap dan memahami masalah ini sebagaimana ulama salaf berpaham agar kita tidak termasuk orang-orang yang berbuat ghibah. Ghibah atau membicarakan aib orang lain telah diharamkan Allah secara tegas di dalam kitab-Nya dan melalui sabda Rasul-Nya. Allah berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalain memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (Al-Hujurat:12) Adapun pengertian ghibah, Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. “Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak suka (untuk diungkapkan).” (HR. Muslim) Rasulullah SAW telah mengharamkan kehormatan seorang mukmin dan mengaitkannya dengan hari Arafah, bulan haram, dan tanah haram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini (hari Arafah), di bulan ini (bulan haram), dan di negeri ini (tanah haram). Ingat! Bukankah aku telah menyampaikan?” (HR Muslim) Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan dengan sangat tegas bahwa membicarakan aib dan kehormatan seorang mukmin itu lebih parah dibandingkan dengan seseorang yang menikahi ibunya sendiri. Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib r.a. dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu mempunyai 72 pintu, yang paling rendah seperti seseorang yang menikahi ibunya. Dan riba yang paling besar yakni seseorang yang berlama-lama membicarakan kehormatan saudaranya.” Di dalam sebuah potongan hadits, riwayat dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia menarik diri dari ucapannya (melakukan sesuatu yang dapat membebaskannya).”(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim, disetujui Adz-Dzahabi) Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Ghanam r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang jika dilihat (menjadi perhatian) disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang yang berjalan dengan mengadu-domba, memecah belah antara orang-orang yang saling cinta, dan senang untuk membuat susah orang-orang yang baik.” (HR. Ahmad) Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dia berkata, Rasulullah SAW. bersabda, “Wahai orang yang telah menyatakan Islam dengan lisannya namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian semua menyakiti sesama muslim, janganlah kalian membuka aib mereka, dan janganlah kalian semua mencari-cari (mengintai) kelemahan mereka. Karena siapa saja yang mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan mengintai kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh Allah kekurangannya, maka pasti Allah akan buka, meskipun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. Tirmidzi). Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun