Rumahku berada di simpang jalan. Letaknya strategis, dekat sebuah perempatan. Karena itu dilewati banyak orang. Mereka lalu lalang untuk berbagai keperluan. Banyak yang ingin singgah untuk berbagai keperluan. Melancong, berdagang atau sekedar menikmati makanan yang terkenal istimewa dan luar biasa di rumahku. Banyak yang ingin kembali berkunjung ke rumahku. Bahkan mereka ingin tinggal lebih lama. Ada diantara mereka yang terpesona pada pemandangan di depan rumahku, sebelah kanan ataupun sisi kiri dan halaman belakang rumahku. Ada yang sekedar mengagumi, tapi tak sedikit juga yang ingin menguasai seisi rumahku.
Rumahku berada di simpang jalan. Lima langkah dari rumahku terbentang pantai berpasir putih. Indah nian, hingga banyak yang datang berkunjung. Mereka mampir ke rumahku, mengagumi keindahan pantai di depan rumahku. Mereka tahu, di pantai dan laut depan rumahku, tersimpan kekayaan alam luar biasa. Tak hanya ikan, udang dan kerapu, tapi juga intan permata ada disana. Rumahku, terlindung oleh rumah besar di sekitarku, karena itu pantai dan laut depan rumahku teduh, gelombangnya menenangkan, bukan membahayakan. Mereka ingin menguasai pantaid an laut depan rumahku. Menjadikannya pelabuhan dan dermaga, sembari meguras habis ikan dan intan permata di laut depan rumahku.
Rumahku berada di simpang jalan. Sedikit bergeser ke sebelah kanan, ada deretan gunung berapi. Kapan saja siap menyembur. Namun pesona dan kekayaan alamnya luar biasa. Dari gunung itu keluar batu dan pasir berkualitas wahid. Tak ada yang memiliki pasir dan batuan sebagus itu di sekitar rumahku. Gunung ini juga menyimpan bahan tambang luar biasa banyaknya. Boleh jadi tambang kami paling kaya, baik jumlah maupun jenisnya. Jangan Tanya minyak dan gas yang tersimpan di bawah tanah kami. Semuanya tersimpan rapi di bawah tanah yang memiliki penjaga bernama gunung berapi. Tak heran, tetangga rumahku, yang dekat, yang jauh bahkan sangat jauh sekalipun merasa iri terhadap kekayaan yang tersimpan di bawah tanah gunung berapi sebelah kanan rumahku. Mereka ingin menguasai gunung berapi dekat rumahku, hendak menguras habis isi perut bumi. Meski diatasnya sudah diberikan tiang pancang bernama gunung berapi.
Rumahku berada di simpang jalan. Bergerak ke kiri, sedikit masuk ke dalam. Halaman belakang rumahku berisi hutan. Hijau tua bak zamrud khatulistiwa. Hutan ini adalah warisan leluhurku, karena itu aku menyebutnya hutanku. Hutanku disinari matahari dan disirami air hujan sama banyaknya, karena itu tumbuh lebat, banyak serasah dan humus yang subur luar biasa. Banyak yang ingin memilikinya. Tapi mereka bukan penghuni rumahku, mereka tetangga biasa yang tidak memiliki tanah. Mereka, membabat habis hutan warisan leluhurku, membakarnya lalu menggantinya dengan tanaman bernama sawit. Hutanku dibakar, terluka dan mengeluarkan asap. Asap itu kemudian menyerang tanah dan kampong tetanggaku, mereka marah dan tidak terima karena merasa dikirimi asap yangbisa membuat mereka sakit. Tapi siapa yang membakar hutanku? Mereka tidak merasa kalau merekalah yang sudah melukai hutanku, membabat habis dan hanya menginginkan kekayaan tak ternilai dari hutanku.
Rumahku berada di simpang jalan. Rumahku sangat besar. Karena itu penghuninya sangat banyak. Mereka semua keluarga besarku. Ada yang hidup berkecukupan, namun tidak sedikit yang merasa kekurangan. Yang membuatku sedih dan terluka, karena di rumah yang sama, ada sebagian keluargaku yang hidup bermewahan. Entah mereka menyebutku dan keluargaku yang miskin dan papa sebagai keluarga mereka. Sudahlah, toh merekatetap keluargaku karena satu rumah denganku. Boleh saja mereka bermewahan karena memang rumahku kaya dan memiliki kekayaan luar biasa. Rumah yang sama, bias nyaman bagi mereka tapi sangat tidak nyaman bagi kami.
Rumahku berada di simpang jalan. Kali ini benar-benar di simpang jalan. Kepala rumah tanggaku tak tahu hendak bergerak kemana dan entah memikirkan nasib penghuni rumah ini atau tidak. Tiang penyangga rumahku perlahan mulai keropos, satu per satu genteng berjatuhan dan rumahku bocor. Penghuni rumahku yang miskin dan papa, terpaksan tinggal di bagian rumah yang atapnya bocor. Mereka yang bermewahan, tidak berurusan dengan itu, mereka menyuruh tukang untuk memperbaiki atap. Tidak di seluruh bagian rumah, namun hanya di sisi yang mereka tempati.
Rumahku berada di simpang jalan. Kepala rumah tanggaku tak tahu hendak bagaimana mengurusi dan memperbaiki rumah ini. Meski badai makin sering menyerang dan bagian rumah yang bocor semakin banyak. Tiang rumahku semakin keropos saja, dan mungkin tinggal menunggu waktu keruntuhannya. Runtuh dari tiang pilar, yang seharusnya jadi penyangga membuat rumah ini tampak kokoh, berwibawa, megah dan gagah perkasa bagi para tetangga. Siapa saja yang hendak mengusik penghuni rumahku seharusnya tertegun, terkesima bahkan berpikir berulang kali untuk sekedar mendekat saja. Tapi itu seharusnya, bukan senyatanya.
Rumahku berada di simpang jalan. Tiangnya yang makin keropos membuat rumahku nampak lusuh, carut marut tak terawat. Tetanggaku, yang dekat, agak jauh bahkan sangat jauh sekalipun sama sekali tak memandang rumahku yang kaya raya sebagai rumah. Barangkali mereka memandangnya sebagai gubuk reyot yang bisa runtuh kapan saja. Tinggal menunggu waktu. Tiang yang keropos tak juga diperbaiki. Dan benarlah, kecemasan akan runtuhnya rumah mulai melanda penghuni. Tanpa arah, mereka bergerak mencari perlindungan ke kiri dan kanan. Memasuki segala ruangan dan mencari perlindungan yang dianggap aman di dalam rumahku. Sementara itu, kepala rumah tanggaku masih saja tak tahu, harus berbuat apa. Rumahku segera roboh, dimulai dari runtuhnya tiang tiang keropos..
Rumahku berada di simpang jalan. Siapa saja yang ingin memiliki atau menguasai rumahku silahkan dating. Tak perlu memikirkan seisi rumah, cukup pikirkan saja mereka yang menjadi tiang. Urusi saja pilar-pilar itu. Perbesar dan tumpuklah upeti di atas tiang-tiang rumahku. Dan tak lupa, pada saat yang sama, siapkan pasak untuk menebang dasar tiang rumah kami. Semakin berat beban di atasnya dan semakin keropos di dasarnya.
Rumahku berada di simpang jalan. Dan segera roboh dari tiangnya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H