Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hobi, Terpaksa, Trauma

23 Oktober 2021   22:28 Diperbarui: 23 Oktober 2021   22:41 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah organik (kiri) dan kompos (kanan). Sumber: dokumentasi pribadi

Pertama, alasan hobi. Sejak kecil, berjalan kaki dan naik sepeda adalah hobi saya. Sampai ekstremnya saya emoh belajar mengendarai motor atau mobil. Selain itu, saya sangat menikmati naik kendaraan umum entah itu dalam keadaan duduk maupun berdiri.

Memang akhirnya ada pengeluaran ekstra untuk kebiasaan ini. Akan tetapi, namanya hobi ya hobi. Saya sukarela melakukan dan siap menanggung biaya. Ternyata hobi itu berefek baik untuk lingkungan hidup.

Sampah organik (kiri) dan kompos (kanan). Sumber: dokumentasi pribadi
Sampah organik (kiri) dan kompos (kanan). Sumber: dokumentasi pribadi
Kedua, alasan terpaksa. Gara-gara pandemi Covid-19, saya harus mendekam lama di rumah. Kebiasaan membeli makan di luar berganti memasak mandiri. Ini tentu menghasilkan sampah organik. Rupanya kemudian, konversi sampah organik menjadi kompos bermanfaat mengurangi emisi.

Di sisi lain, berdiam di rumah tentu memicu stres. Karena itu saya terpaksa mengisi waktu luang dengan bercocok tanam. Apa yang awalnya diniatkan sebagai relaksasi ternyata punya dampak lain. Daun-daunan hijau adalah penyerap emisi karbon.

Ketiga, alasan trauma. Migrasi ke kompor induksi tidak mungkin tanpa didahului peristiwa kebocoran tabung gas. Saya berketetapan hati tidak mau ada perulangan. Faktor traumatik ini ternyata punya efek baik untuk menyusutkan emisi.

Wah, berarti saya tidak menghasilkan emisi dong? Tentu saja tidak. Jujur, ada satu kebiasaan saya yang berkontribusi terhadap emisi: membakar sampah plastik dan kertas. Skalanya memang kecil meskipun tetap saja mengepulkan asap. Tabiat buruk ini harus saya buang jauh-jauh.

Selain itu, membesarnya konsumsi listrik rumah bakal menambah kerja pembangkit. Setelah saya telisik, jaringan transmisi listrik lingkungan rumah saya berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan batu bara.

Namun, penggunaan energi fosil oleh PLTU di luar kuasa saya. Kontribusi emisi yang bukan karena keinginan kita langsung ini disebut sebagai jejak karbon sekunder. Sekiranya PT PLN (Persero) atau perusahaan pembangkit swasta beralih ke sumber energi baru dan terbarukan (EBT), tentu pelanggan dengan sendirinya tidak merasa ikut mengepulkan emisi.

Menurut saya, gerakan Net-Zero Emissions harus berakar dari individu. Dalam kasus saya, awalnya tidak ada tuh idealisme untuk mencegah perubahan iklim. Sebagai anak kecil yang hobi jalan kaki, misalnya, manalah tahu tetek bengek makro bernama 'pemangkasan gas rumah kaca' dan sebagainya.

Setelah mendapatkan informasi bahaya pemanasan global, barulah saya tersadar kebiasaan-kebiasaan itu ada gunanya. Saya pun semakin mantap untuk konsisten menjalaninya. Juga, akan berupaya mengajak orang lain melakukan langkah-langkah penyelamatan alam ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun