Pada tahun 1976 dua orang mahasiswa UI menghentak Jakarta. Dipo Alam dan Bambang Sulistomo namanya. Yang pertama adalah bekas ketua Dewan Mahasiswa UI dan satunya lagi anak Bung Tomo. Dua orang ini mencalonkan Ali Sadikin sebagai presiden. Padahal waktu itu bicara soal calon presiden masih tabu.
Sudah bisa ditebak, dua orang ini langsung "diamankan". Ali Sadikin mengaku tak tahu tentang manuver dua mahasiswa tersebut. Ini dinyatakannya dalam buku biografinya, Demi Jakarta (1966-1977).
Setahun sebelumnya, seorang pemuda wong deso bernama Dahlan Iskan menginjak Jakarta. Dia mengikuti pelatihan jurnalistik dan kemudian magang di majalah Tempo. Tak hanya sekedar magang, Dahlan malah diajak bergabung dengan majalah pimpinan Gunawan Mohammad tersebut. Sebagai seorang wartawan muda, tentu Dahlan tahu kiprah Ali Sadikin yang akrab dengan media.
Begitu populernya Ali Sadikin sehingga orang muda macam Dahlan Iskan dan Dipo Alam sedikit banyak mengagumi sang gubernur DKI. Prestasi Bang Ali selama memimpin Jakarta, sikapnya yang terbuka dan demokrat membuat banyak orang suka padanya. Dia dianggap antitesisnya Suharto, sang presiden. Jabatan Bang Ali yang tinggal setahun lagi membuat para pengagumnya ingin agar dia dapat jabatan yang lebih tinggi. Bisa dimengerti, rasa takut kehilangan inilah yang membuat Dipo Alam hendak mencalonkannya sebagai presiden.
Bagi seorang Dahlan Iskan sang wartawan, sudah tentu dia berharap agar pemimpin itu seperti Bang Ali. Tidak jaga image serta mau blak-blakan. Ini akan menciptakan hubungan yang dekat antara sang pewarta dengan yang diwartakan. Tapi yang lebih penting lagi adalah, tidak hanya jurnalis, melainkan masyarakat juga menyukai pemimpin seperti itu.
Entah, apakah Dipo Alam dan Dahlan Iskan dulu sempat berpikir bahwa suatu hari kelak mereka akan menjadi pejabat negara. Tapi pasti dalam benak mereka berdua, andai mereka jadi pemimpin, Bang Ali bakal menjadi standar seorang pejabat negara. Bang Ali yang terbuka, kontroversial, dan dekat dengan media.
Sekarang Dahlan Iskan dan Dipo Alam telah menjadi pejabat negara. Dahlan adalah Menteri BUMN, sedangkan Dipo menduduki kursi Sekretaris Kabinet yang setara dengan jabatan menteri. Hari-hari belakangan ini mereka menjadi perbincangan publik. Keduanya berupaya mengungkap kasus korupsi di lembaga negara.
Yang membuat upaya heboh adalah keduanya lebih dulu berkoar di media ketimbang langsung mengadukan kepada pihak yang bersangkutan. Dahlan Iskan mengatakan bahwa ada oknum anggota DPR yang meminta upeti dari BUMN. Tak pelak lagi, dan Dahlan pasti tahu, pernyataannya ini bakal berguling seperti bola salju. Sebagian anggota DPR, pengamat, dan petinggi partai langsung meminta Dahlan untuk membuka nama-nama itu. Dahlan memang tidak membukanya ke publik melainkan memberikan nama-nama itu ke Badan Kehormatan DPR. Tapi seperti bisa diduga, nama-nama itu akhirnya bocor.
Metode serupa juga digunakan oleh Dipo Alam. Dipo mengatakan kepada media bahwa ada PNS yang melaporkan kepadanya upaya penggelembungan anggaran di kementrian. Permainan ini melibatakan pihak kementrian dan anggota DPR. Bahkan Dipo mengatakan ada keterlibatan ketua fraksi di DPR. Karena terus menjadi perbincangan, akhirnya Dipo pun mendatangi ke KPK. Meski dia juga tidak menyatakan di media kementrian mana saja yang dilaporkan itu, tapi toh kemudian bocor juga.
Dipo dan Dahlan menuai pujian, tapi ada juga yang mengecam. Bagi yang memuji, tindakan dua orang ini merupakan wujud akuntabilitas pejabat negara. Berani mengatakan di media berarti tidak ada kejanggalan yang ditutup-tutupi. Bagi para pengecam, cara melaporkan ke media dianggap hanya mengumbar sensasi dan terkesan mencari popularitas. Bahkan tak sedikit yang percaya ini adalah upaya pengalihan isu. Dahlan misalnya bermasalah dengan kasus inefisiensi di PLN. Sedangkan Dipo mau mengalihkan isu "mafia narkoba" yang ada di sekitar Istana.
Apapun motif sebenarnya, saya menganggap bahwa Dipo Alam dan Dahlan Iskan hanya melakukan apa yang sejak muda mereka yakini. Bahwa seorang pejabat negara yang ideal adalah mereka yang berani terbuka di depan media. Dengan keterbukaan itu akan timbul kepercayaan oleh publik. Terlebih apabila berhadaan dengan pihak yang kurang mendapat kepercayaan masyarakat.
Wartawan dan masyarakat senang-senang saja dengan gaya Dahlan dan Dipo. Tapi ada satu hal yang harus diingat bahwa seorang pejabat negara hanya dianggap berhasil apabila mereka punya warisan di masa yang akan datang. Ini lebih penting ketimbang popularitas sesaat. Bang Ali misalnya tidak hanya populer di masanya, tapi terus dikenang sampai saat ini. Itu karena dia berhasil selama 10 tahun lebih.
Dahlan dan Dipo atau Jokowi atau pejabat lain yang ingin populer di media harus mengerti hal ini. Mumpung mereka rata-rata masih pejabat baru, kita tunggu saja apa yang bakal terjadi. Semoga saja kita tidak dikecewakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H