Inilah yang jadi masalah. GAM ingin menonjolkan keacehan, padahal sejak zaman dahulu perekat persatuan di wilayah Aceh adalah agama Islam. Mengenai agama, orang Alas dan Gayo tidak mungkin menolaknya. Niat awal qanun Wali Nanggroe sendiri adalah mengembalikan romantisme masa lalu yakni kerajaan Aceh. Dalam qanun sendiri dinyatakan bahwa Wali Nanggroe yang akan dilantik, Malik Mahmud, adalah wali yang kesembilan. Pertanyaannya, siapa wali-wali sebelumnya?
Jika benar ingin mengembalikan masa kerajaan, bukankah pemangku jabatan itu adalah keturunan? Lalu, apakah Malik Mahmud adalah keturunan Sultan Aceh?
Semua akan menjawab bukan. Kalau begitu dari mana datangnya legitimasi Malik Mahmud? Secara hukum memang qanun itu sendiri. Tapi tentu secara budaya legitimasi itu ditentukan faktor genealogis atau kharisma. Malik Mahmud bukan keturunan Sultan Aceh. Dia juga tidak memiliki kharisma, katakanlah seperti yang dulu dipunyai Daud Beureueh. Lalu apa?
Bagi mantan GAM ini tidak jadi soal. Karena sesungguhnya lembaga Wali Nanggroe ini tak lebih sebagai legitimasi atas perjuangan yang dulu pernah mereka lakukan. Sewaktu konflik orang-orang di Aceh selalu mendengar adanya seorang Wali Nanggroe yang tak lain adalah pemimpin GAM sendiri, Hasan Tiro.
Betul kata ini seolah membius sebagai orang di Aceh. Tapi apa dasar gelar ini tidak ada yang tahu. Yang penting sang Wali Nanggroe berjuang membebaskan bangsa Aceh dari penjajahan orang Jawa. Sang Wali akan merebut kembali kekayaan alam Aceh yang telah digerus dan dibawa ke Jawa, sedangkan orang Aceh hanya dapat ampas. Untuk memebantu perjuangan sang wali, orang Aceh harus rela memberikan sebagian hartanya dengan nama "pajak nanggroe".
Tapi itu dulu ketika perdamaian belum terwujud. Kini orang di Aceh butuh hal yang riil seperti melepaskan diri dari kemiskinan. Bagi mereka inilah sesungguhnya makna perdamaian itu. Perdamaian juga harus menyatukan kembali orang Aceh yang terpecah-pecah akibat konflik. Yang jadi soal adalah apakah untuk menyatukan itu dibutuhkan sebuah lembaga dan institusi?
Berdasarkan realitas jawabannya adalah tidak. Tapi apa lacur, UU telah memerintahkan untuk membentuk lembaga bernama Wali Nanggroe itu. Meski sebetulnya hanya keinginan segelintir pihak, dalam hal ini eks GAM, tapi undang-undang harus dipatuhi. Itu benar. Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika lembaga yang seharusnya mempersatukan masyarakat justru dalam prakteknya memecah belah?
Irwandi Yusuf mengatakan di acara Genta Demokrasi MetroTV bahwa alih-alih mempersatukan, Wali Nanggroe justru memecah belah. Hal inilah yang membuat dia dulu tidak mau menandatangai perda tersebut. Dan apa yang ditakuti Irwandi telah menjadi kenyataan. Orang Gayo sudah memulai penolakan. Berikutnya pasti suku-suku lain akan menyatakan hal serupa.
Saya pikir dalam keadaan seperti inilah para mantan GAM itu mengerti benar apa arti "pemersatu" dalam masyarakat majemuk. Dalam hal Aceh, itu adalah agama Islam. Dalam konteks keindonesian yang majemuk dalam banyak hal, itu adalah Pancasila. Sebuah ideologi, institusi, atau tokoh bisa menjadi pemersatu kalau mengakomodasi kepentingan semua pihak. Jika cuma demi keuntungan satu pihak, walaupun dia mayoritas, justru akan menimbulkan perpecahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H