Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belum Khatam Rupanya…

31 Juli 2012   13:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:24 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Satu tahun dari sekarang, semua sekolah rusak sudah khatam."

Kira-kira begitulah kata Mendikbud (sebelumnya Mendiknas) Mohammad Nuh sesaat setelah dilantik pada tahun 2009 lalu. Tentu saja banyak orang yang senang kalau dihembuskan angin surga seperti itu.

Tapi kalau kita lihat betapa luasnya negeri ini, ditambah segala tetek-bengek birokrasi, sungguh pernyataan Gus Nuh itu bak meninabobokkan sesaat saja. Rupanya memang betul, jangankan setahun, sudah hampir tiga tahun ini kita masih melihat sekolah-sekolah reyot yang ditampilkan di berbagai media.

Saya tidak mau berburuk sangka terhadap pak menteri. Saya pikir siapapun yang menyandang jabatan mendikbud pasti akan berpikir bahwa dia bisa melakukan segalanya. Bagaimana tidak, Kemdikbud mendapat jatah terbesar porsi belanja kementrian. Tidak tanggung-tanggung, 20 persen dana APBN, mengucur untuk pendidikan. Kalau APBN sekarang berjumlah 1,5 triliun, itu artinta pos pendidikan mendapat jatah 300 triliun!

Tidak semua uang itu digunakan untuk pendidikan murni. Dalam arti tidak termasuk gaji para pendidik. Namun, sebagain besar uang tersebut rupanya untuk membayar bapak dan ibu guru yang jumlahnya konon jutaan itu. Sekalipun begitu, uang operasional yang "dipegang" oleh Kemdikbud sekitar 60-an triliuan sudah cukup besar.

Wajarlah Mendikbud sedemikian percaya diri dengan uang sebanyak itu. Tapi apa lacur, birokrasi di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Lagipula, dunia pendidikan adalah salah satu bidang yang menjadi urusan pemerintah daerah. Jadi hambatan yang besar adalah di daerah sendiri. Dan itu tidak mudah.

Saya pikir kerumitan yang sedemikan parah inilah yang membuat Mendikbud merengek ke Presiden SBY. Rengekan itu akhirnya dijawab oleh SBY dengan mengadakan rapat kabinet terbatas bidang pendidikan yang diadakan hari ini. Bagaimana tidak disebut merengek yang akhirnya terjawab, karena ternyata dalam rapat kabinet itu SBY menyinggung-nyinggung tentang sekolah rusak yang dulu pernah dijanjikan menterinya itu.

Sampai sedemikian parah. Ya, bahkan presiden harus turun langsung untuk mengatasi hal teknis seperti itu. Tapi apakah dengan turun tangannya langsung presiden maka semua akan beres? Menurut pengalaman selama ini jawabannnya adalah tidak. Sudah berapa kali kita dengar presiden mengadakan rapat-rapat, yang sampai dihadiri oleh kepala daerah. Tapi, masalah tidak pernah selesai bukan?

Dari kasus yang kelihatannya sepele ini, kita bisa mengambil kesimpulan sementara atau hipotesis bahwa, uang yang bergelimang tidak menjamin masalah bakal teratasi. Terlampua banyak faktor yang menghalangi semua rencana yang sebetulnya baik. Salah satunya ya otonomi daerah itu tadi.

Bukan berarti  otomoni itu jelek, seperti juga dikatakan banyak ahli. Tapi kalau kepala daerahnya yang tidak becus, maka hasilnya juga buruk. Banyaknya bupati yang sudah terjerat korupsi menjadi contoh. Bukannya bekerja tapi kepala daerah malah lebih sigap dalam menelikung uang rakyat. Akhirnya, uang memperbaiki sekolah, jalan raya, tidak sampai ke tangan rakyat.

Seberapa berkuasanya pun seorang menteri, dia tidak boleh menerobos otonomi daerah. Bisa dibilang, Mendiknas hanya memiliki kuasa penuh di bidang pendidikan tinggi. Universitas, institut tidak tunduk pada kepala daerah, bahkan secara eselon, rektor itu setara dengan gubernur. Alangkah senangnya ketika kita mendengar Gus Nuh mengatakan tahun depan PTN dilarang memungut uang selain SPP. Tidak hanya sekedar melarang, dia juga sudah berjanji mengucurkan dana untuk mengganti kekurangan dana PTN.

Terlepas dari kecurigaaan bahwa pernyataan ini hanya kedok agar tidak ada penolakan UU Perguruan Tinggi, tapi saya yakin untuk satu ini Gus Nuh akan menepati janjinya. Dengan kata lain, tahun depan uang-uang pungutan PTN akan khatam dengan sendirinya.

Kalau masalah PTN akan khatam dengan mudah, tidak demikian dengan sekolah-sekolah rusak. Tapi mungkin kita perlu berprasangka baik terhadap presiden dan menterinya, mumpung sekarang lagi bulan puasa. Orang yang jarang baca Al Qur'an saja bisa menngkhatamkan baca Al Qur'an di bulan Ramadhan ini. Jadi butuh perangsang, motivasi yang bernama pahala dan nilainya berlipat-lipat.

Pun begitu dengan pemerintah. Semoga sekolah rusak itu sudah betul-betul khatam sebelum pemeritahan SBY berkahir Oktober 2014 nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun