Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Java Cu(ap-cua)p

25 Juli 2012   07:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Dua hari sudah laga persahabatan Persebaya vs Queens Park Ranger berlalu. Tapi sampai sekarang saya masih menyimpan tanya yang belum terjawab dan tampaknya takkan memperoleh jawab: Mengapa LPIS terlibat?

Barangkali kalau kita bertanya pada pihak LPIS, tentu mereka punya jawabannya. Sedangkan pihak Persebaya mau tak mau akan mengiyakan. Dengan kata lain, pokoknya alasannya pasti ada!

Tapi orang yang mengerti pasti tidak akan bisa menerima jawaban apapun dari LPIS. Saya tidak perlu mencari tahu ke sumber berita karena saya sudah tidak terlanjur percaya. Pangkal soal sudah jelas, bahwa saya punya asumsi: orang Surabaya, Panpel Persebaya, bahkan Pemkot Surabaya sekalipun tidak perlu diragukan kemampuannya dalam event organizer. Semenjak Persebaya ke LPI, nyaris sumber permasalahan utama (baca: ulah bonek) tidak terlalu mengkhawatirkan lagi. Hanya ada sekali kasus, itupun tak lebih dari kegenitan polisi sendiri, yaitu dalam pertandingan IPL antara Persebaya melawan Persija di Tambak Sari.

Karena alasan ini, sudah pasti orang Surabaya sendiri akan mampu menghelat sebuah pertandingan level internasional dengan baik. Tidak perlu ada supervisor atau bahkan penyelenggara dari luar kota untuk menanganani pertandingan Persebaya vs QPR.

Namun, semua cerita menjadi lain. Tiba-tiba bukan Ram Surrahman yang biasanya menjadi panpel Persebaya, tapi Abi Hadisantoso yang justru nongol. Dengan kata lain, pihak LPIS, alias orang luar kota lah yang bertanggung jawab pada laga internasional tersebut.

Kemudian terbukti bahwa LPIS justru membuat semuanya berantakan. Di Surabaya banyak sekali muncul suara tidak puas kepada pihak penyelenggara. Puncaknya adalah insiden mati lampu yang membuat kota Surabaya mendapat citra negatif. Tentu saja bukan pemkot, atau Persebaya yang patut disalahkan atas semua ini. Tapi LPIS, "orang asing" yang sudah mendapat sorotan atas ketidakecusan mengurus IPL. Seolah-olah dengan menjadi panpel pertandingan besar di Surabaya, mereka ingin memperbaiki nama baik. Tapi apal lacur, LPIS seperti menggali lubang untuk kematiannya sendiri.

***

Jika insiden GBT tak akan mendapat jawabannya, lain lagi dengan satu kasus yang tak kalah memalukannya. Sama-sama tingkat internasional, tapi lebih banyak peserta: Java Cup. Jauh-jauh hari semua pencinta sepak bola Indonesia menanti penuh harap terselenggaranya turnamen ini. Everton, Galatasaray, dan Malaysia menjadi magnet yang sangat memikat.

Tapi, beberapa hari lalu muncul kabar bahwa salah satu peserta, Galatasaray, membatalkan keikutsertaaanya. Alasannya cukup membuat kita geli yakni kurangnya ongkos partisipasi. Galatasaray dijanjikan uang 1 juta dollar. Tapi rupanya uang segitu sudah termasuk tiket yang nilanya mencapai 600 ribu dollar. Sebagai klub dengan reputasi mentereng di Turki dan Eropa, wajar saja Galatasaray mengabil keputusan seperti itu.

Bukannya membujuk dan bernegosiasi agar mereka mengurungkan niatnya, penyelenggara malah membiarkan begitu saja. Akhirnya, tim yang bermarkas di Istambul itu pun sudah memastikan tidak akan ikut serta.

Galatasaray boleh pergi, tapi masih ada Everton. Paling tidak klub ini bisa menjaga gengsi turnamen. Sebagai pengganti dipilihlah timnas senior Indonesia. Sebagian orang menganggap pembatalan ini sebagai berkah, karena menambah pemanasan timnas yang akan berlaga di AFF.

Harapan akhirnya tinggallah mimpi. Kemarin malam, lagi enak-enak nonton perdebatan Indonesia Lawyers Club, muncullah running text bahwa Everton ikut-ikutan mundur dari Java Cup. Hancur sudah turnamen yang dicuap-cuapkan sejak lama ini!

Kegagalan menyelenggaran turnamen menjadi aib bagi PSSI dan orang-orangnya. Turnamen ini jelas-jelas melibatkan orang "lingkaran inti" kekuasaan PSSI. Dialah Sihar Sitorus, anggota Komite Eksekutif sekaligus ketua Komite Kompetisi. Kalau penyelenggara IPL amburadul, dialah yang paling bertanggung jawab. Paling tidak LPIS bertanggung jawab langsung kepadanya.

Dua cacat di Surabaya dan Jakarta ini kembali membuat orang ragu akan kemampuan PSSI, khususnya EO-nya, dalam menyiapkan dan menyelengagarakan pertandingan atau turnamen. Nama baik bangsa Indonesia juga tercoreng di luar negeri sana.

Memang benarlah kata pepatah bahwa pengalaman itu adalah guru terbaik.

Meski begitu saya melihat ada satu kelebihan LPIS yang tidak dimiliki pesaingnya, PT LI. Kalau PT LI dengan kegagalannya bertahun-tahun mengurus liga masih ngotot tahun depan tetap menjadi operator liga. Sedangkan LPIS sadar tak mampu menjadi operator liga, karena itu musim depan operator akan diserahkan kepada orang asing.

Tapi ini masih sebatas cuap-cuap, yang bukan tak mungkin nasibnya akan sama seperti nasib Java Cup: Batal!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun