Dari enam presiden yang pernah memimpin Indonesia, tiga di antaranya punya nama sapaan populer. Nama sapaan itu tidak hanya berlaku di lingkaran orang terdekat, tapi juga dipakai oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai orang Indonesia yang baik tentulah kita semua bisa langsung menebaknya. Yang pertama tentulah Sukarno. Dia tidak hanya seorang presiden, melainkan juga orang yang memproklamirkan berdirinya negara ini. Andai tidak jadi presiden pun namanya sudah besar dengan sendirinya. Kedekatannya dengan rakyat kecil dan sikapnya yang egaliter membuat sapaan revolusi "bung" dilekatkan padanya hingga ajal. Sampai saat ini pun kita yang belum lahir semasa dia hidup lebih suka memakai kata "Bung Karno" ketimbang "Sukarno".
Orang kedua adalah Abdurrahman Wahid. Meski dia seorang intelektual yang biasanya elitis, latar belakangnya NU. Â Karena anak seorang kiai, panggilan khas pesanteren "gus" melekat erat padanya. Jadilah dia kita semua kenal dengan panggilan populer "Gus Dur" yang juga lebih enak didengar ketimbang nama aslinya yang panjang. Padahal kata "gus" berarti kakak sehingga Gus Dur akan terus tampak terasa muda.
Presiden ketiga yang punya nama populer adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Berbeda dengan dua orang itu, sapaan akrabnya tidak disertai kata ganti seperti "mas" atau "bung" melainkan hanya singkatan atau inisial nama aslinya: SBY. Juga berbeda dengan Bung Karno dan Gus Dur yang jauh sudah terkenal sebelum menyandang presiden, inisial "SBY" populer menjelang pemilu 2004.
Saya kira tidak kebetulan jika ketiganya berasal dari daerah yang sama: Jawa Timur. Hampir semua orang Indonesia paham bahwa Jawa Timur itu tidak terlalu njawani ketimbang Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sudah barang tentu orang-orangnya juga lebih egaliter dan tidak terlalu formalistik.
Teori Nama Panggilan
Pertanyaan yang boleh jadi hinggap di kepala semua orang saat ini mungkin siapa yang bakal jadi presiden di tahun 2014 nanti. Sudah banyak nama-nama yang muncul, baik lewat survei, maupun melalui suara-suara di media-media bukan arus utama. Mereka itu kebanyakan politisi, pejabat dengan reputasi bersih dan sederhana, hingga kepala daerah yang berprestasi.
Tapi saya mau pakai pendekatan lain. Bagaimana jika nama sapaan dijadikan tolak ukur untuk meramal presiden dan wakil presiden kita di masa mendatang? Tentu saja nama sapaan itu tidak muncul menjelang pemilu ataupun pada spanduk-spanduk kampanye. Tapi mereka yang sedari awal sudah punya nama panggilan akrab.
Dari beberapa nama-nama calon yang kerap dibicarakan publik, ada dua orang yang punya sapaan akrab itu. Pertama adalah Gubernur Jawa Timur, Sukarwo.
Orang-orang di Jawa Timur memanggilnya Pakde Karwo. Saya ingat nama ini muncul menjelang pilkada gubernur Jatim pada awal tahun 2008. Sebelumnya dia Sekdaprov Jatim yang merupakan kedudukan strategis dalam birokrasi daerah. Saya bukan asli Jatim jadi tidak tahu apakah sebelumnya nama sapaan itu sudah cukup populer.
Pakde pun terpilih jadi gubernur dengan Saifullah Yusuf sebagai wakilnya lewat "drama" pemilihan yang melelahkan. Pilkada berlangsung hingga tiga putaran dengan Madura sebagai penentu. Walau tidak menjadi pengurus parpol, Demokrat dan PAN mengajukan nama keduanya. Dan sampai saat ini semboyan "APBD untuk Rakyat" tampaknya memang terbukti.
Kehebatan Pakde kata orang-orang adalah jaringan birokrasinya. Pengalaman bertahun-tahun membuatnya mengenal "medan tempur" Jatim dan ketika menjabat sudah tahu apa yang mesti dikerjakan. Hubungan dengan kepala daerah kabupaten/kota pun baik-baik saja. Dan yang lebih penting: dengan Gus Ipul dia mesra. Jadilah program kerja mereka berjalan lancar.
Yang saya suka dari Pakde adalah latar belakangnya sebagai seorang marhaenis. Dia lahir di Madiun, wilayah Mataraman, yang secara otomatis kental kejawaanya dan basis PNI dan PDI. Sewaktu mahasiswa dia gabung dengan GMNI. Jiwa marhaenisnya itu sangat kelihatan ketika menjabat: sangat peduli dengan kaum marhaenis alias wong cilik. Pengalamannya sebagai aktivis juga membuatnya tahu berurusan dengan pengunjuk rasa. Dia tak segan-segan bicara dengan pendemo di tengah terik matahari. Pernah suatu hari, ketika mahasiswa berdemo dia berdiri di atas mobil terbuka mengajak mereka bicara. Tapi mahasiswanya mengabaikan gubernurnya. Mungkin ini petunjuk betapa mahasiswa berdemo "mengejar sensasi tidak esensi" (saya pinjam slogannya Kompasiana Freez, hehehe).
Nama kedua yang cukup populer adalah Walikota Surakarta Joko Widodo. Se-Indonesia memanggilnya (kalau bertemu) dengan akronim namanya: Jokowi. Saya bukan orang Solo jadi kurang rutin mengikuti sepak terjangnya. Â Tapi prestasinya sudah banyak diketahui. Sudah sering juga diulas di kompasiana ini sehingga tidak perlu saya tulis kembali.
Jokowi juga punya latar belakang yang sama dengan Pakde sebagai seorang Marhaenis. Tapi tidak seperti Pakde Karwo yang memilih menjadi kader Demokrat, Jokowi adalah kader PDI Perjuangan. Latar belakangnya inilah yang membuatnya tahu memperlakukan pedagang kali lima dengan manusiawi. Juga apa yang diperbuatnya dalam mendukung industri kecil. Kata orang-orang, "wong cilik banget".
Saya bukan marhaenis ataupun pendukung PDIP. Tapi tentu saya banyak sepakat dengan ideologi yang dilahirkan Bung Karno itu. Beruntungnya, dari kaum marnaenis tidak hanya lahir orang yang hanya suka bicara ideologi alias slogan-slogan tanpa arti. Ternyata ada dua orang----dan banyak lagi----yang bisa mengejawantahkan ajaran Bung Karno tatkala memimpin rakyat.
Ini tentu aset bagi kaum marhaenis terutama yang sekarang berkumpul di PDI Perjuangan. Saya ingat kata-kata dari Ruslan Abdulgani yang menyebut seorang marhaenis sejati "bukan biologis tapi ideologis". Bahwa bukan mereka yang punya hubungan darah dengan Bung Karno, tapi mereka yang memahami ideologi dan bisa mengejawantahkannya saja yang pantas disebut seorang marhaen sejati.
Mungkin kalau patokan ini yang dipakai, PDIP tidak akan kesulitan memilih seorang presiden---dan menang. Tapi melihat tabiat selama ini agak sulit orang-orang berprestasi itu diberi kesempatan. Pakde Karwo yang pada tahun 2008 belum berpartai saja mengajukan lamaran ke PDI P untuk jadi gubernur tidak digubris. Kalau saja saat itu Megawati sedikit rasional, mungkin saat ini Pakde Karwo sudah berlabuh di Partai Moncong Putih.
Tapi tampaknya takdir tidak kemana, begitu kata orang-orang. Bahkan kesempatan bisa jadi lebih besar di partai penguasa. Dan SBY pun kesengsem dengan pribadi dan pembawaan Pakde Karwo.
Kemarin malam saya lihat dia tampil di acara Economic Challenges MetroTV. Penampilannya meyakinkan, bicara data tanpa teks. Saya sendiri terkesima dan membayangkan kalau yang bicara itu adalah presiden Indonesia. Jika pengamat ekonomi Aviliani yang duduk di sampingnya mengatakan "pantas dipilih kembali sebagai gubernur", tampaknya itu kurang tepat. Pakde lebih pantas jadi petinggi republik ini.
Intuisi saya mengatakan bahwa Pakde Karwo adalah "that one" yang akan diajukan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, SBY, sebagai calon presiden/wakil presiden tahun 2014. Soal berpasangan dengan siapa, saya punya usulan: Jokowi.
Pantas bukan? Sudah berpengalaman, nyaris tanpa cela, dan berprestasi pula. Bahkan berdasarkan "teori nama panggilan" juga memenuhi. Jadi jangan terkejut kalau tahun 2014 nanti pemimpin kita adalah: Presiden Pakde Karwo dan Wapres Jokowi. Hehehe...
Catatan: maaf jika Aburizal Bakrie alias Ical tidak masuk. Bukan karena saya anti-Bakrie, tapi karena yang bersangkutan pernah bilang dipanggil "ARB" saja, bukan "ical".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H