Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Dear Leader" Kim

19 Desember 2011   08:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:04 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah apa sumbangan Korea Utara bagi dunia ini. Sejak dikuasai Kim Il Sung hingga digantikan anaknya, Kim Jong Il, negara ini nyaris tertutup dengan dunia luar. Seandainya saja tidak ada embel-embel “Korea”, mungkin tidak ada yang menyangka bahwa negara ini sekandung-sedarah dengan Korea Selatan.

Kita mengenal olahraga beladiri Taekwondo. Belum lagi produk-produk elektronik canggih semacam Samsung, LG, dan Hyundai. Malah akhri-akhir ini anak-anak muda Indonesia sedang demam lagu dan film Korea.

Tapi ini semua menjadi hak milik Korsel. Seandainya kita percaya keuletan dan kerja keras ada sangkut-pautnya dengan bangsa tertentu, maka itu semua tidak sepenuhnya berlaku bagi bangsa Korea. Masih ada ideologi sebagai faktor penentu.

Korea Selatan sekarang bahagia dengan capaiannya yang mendunia. Perang Korea (1950-1953) menyelamatkan wilayahnya dari serbuan Korut yang komunis. Semenjak itu, tatkala orang di selatan sedang berkutat bagaimana menjadi kaya, saudara mereka di utara terhanyut dalam doktrin-dotrin Marx dan Lenin.

Ketika dahulu Uni Sovyet masih hidup, satu-satunya kekuatan Korut barangkali ancaman revolusinya. Tapi setelah semua orang melihat komunisme gagal, Korut pun mengalihkan ancaman itu dengan mencoba membuat senjata pemusnah massal. Negeri ini tampaknya bangga membuat negara adidaya khawatir.

Korut pun menjadi salah satu---meminjam istilah George Bush---negara “poros setan” selain Iran dan Irak. Padahal di tahun 1960, negara ini menjalin hubungan dengan Indonesia dan China dalam Poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Indonesia yang dipimpin Bung Karno dan Korut dalam kekuasaan Kim Il Sung menjadi negara dengan pemimpin yang kuat. Sedang Cina berada dalam cengkeraman partai yang kuat.

Tapi Bung Karno jatuh. Tinggallah Cina dan Korut berhubungan semata karena ideologi. Empat puluh tahun kemudian salah satu pemimpin “poros setan”, Saddam Husein, juga dijatuhkan. Tinggallah kini dua “setan bersaudara” yang masih hidup.

Segala macam perundingan dan ancaman tidak bisa membikin kedua “setan” ini menghentikan proyek senjata pemusnah massal. Iran dan Korut tetap kukuh bahwa senjata nuklir adalah hak setiap negara, seperti halnya negara-negara kaya.

Keyakinan Korut ini benar adanya. Tapi Amerika, Prancis, Inggris, Rusia, memiliki senjata nuklir setelah rakyat terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kita tidak tahu, berapa banyak orang Korut yang mati karena tipisnya persediaan makanan. Sebab pemerintahnya lebih memilih habiskan uang demi ambisi tak masuk akal.

Bisakah ini semua salah Kim Jong Il seorang? Tentu. Sebab dia pun suka dengan kemewahan pribadi. Ini tentu tak masuk akal dalam negara komunis yang percaya “pemimpinnya sama rasa dengan rakyatnya”.

Korut telah menjadi sebuah contoh unik di mana komunisme dan feodalisme bisa berimpit. Komunisme memberikan legitimasi diktator, sedang feodalisme memberi landasan hasrat kuasa. Jadilah, di negara Korut kepemimpinan dilangsungkan secara turun-temurun layaknya kerajaan dahulu kala.

Kim Il Sung sebagai presiden seumur hidup diganti anaknya. Kini sang cucu Kim Jong Un yang masih muda siap-siap menerima estafet ayahnya. Sebab pada hari ini (19 Desember) sang ayah wafat. Ini akan membuat Korut berada dalam kesedihan. Entah itu karena terpaksa atau betul karena kehilangan.

Kita tidak tahu apakah anak muda ini akan melanjutkan tradisi ayah dan kakeknya. Tapi sebagai generasi muda tentu matanya lebih tertuju pada modernitas yang sedang melanda dunia. Dia pasti tidak mau di saat rakyat tetangga mendengar lagu lewat handphone canggih, rakyatnya sendiri belum pernah berkirim pesan elektronik.

Feodalisme Korut ini mungkin bisa jadi petaka sekaligus berkah. Petaka jikalau “Putra Mahkota” Jong Un dianggap belum pantas sehingga pemimpin konservatif akan memegang kekuasaan sementara. Sebaliknya, menjadi berkah manakala Jong Un membuat petinggi partai dan militer menurut padanya. Tapi ini hanya spekulasi. Kepastiannya kita tunggu saja!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun