Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Khadafi

21 Oktober 2011   07:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:41 1563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama 42 tahun ini, ada satu orang yang selalu nyaring suaranya di bawah kolong langit. Dialah Muammar Khadafi. Di kala pemimpin negara lain silih berganti, di Libya  hanya berkuasa orang yang sama.

Adalah suatu "keanehan" kalau kita membaca riwayat Khadafi. Di saat umurnya masih belia, Khadafi sudah memegang kekuasaan tertinggi sebuah negara. Pada tahun 1969, di kala umurnya 27 tahun, ia mengkudeta pemerintahan monarki yang kemudian diubahnya menjadi republik--atau apalah namanya.

Selama tahun-tahun yang panjang itu, ia tidak ragu untuk menjadikan Amerika sebagai musuhnya. Saya sebagai generasi muda tidak tahu sejak kapan ia mulai berani melawan Amerika. Tapi, kalaulah Bung Karno sepanjang tahun 1960-an paling lantang bersuara menentang Paman Sam lengser tahun 1967, itu artinya Khadafi menjadi salah satu pemimpin yang menggantikan kedudukan yang ditinggalkan oleh Bung Karno.

Paman Sam tentu tidak suka orang seperti itu. Berbagai cara dilakukan agar sang kolonel enyah dari kekuasaanya. Namun Khadafi pun membalas dengan cara yang tidak kalah sadis. Peristiwa Lockerbie tahun 1988 pun akan masuk dalam sejarah karena seorang pemimpin negara merencanakan tindakan teror terhadap orang-orang sipil di negara lain.

Seperti kebanyakan penguasa yang anti-Amerika, Khadafi adalah seorang diktator. Tentu tidak ada korelasi bahwa seorang pembeci Paman Sam harus menjadi diktator. Tapi paling tidak kediktatoran Khadafi bukan kediktatoran menghamba. Saat negara tetangga memberi konsesi pada Amerika, di Libya perusahaan Amerika tak bisa berbuat banyak.

Tapi sayang, sebagaimana Bung Karno, Khadafi akhirnya jatuh bukan karena kuatnya senjata-senjata Amerika. Dia jusru harus mengakhiri kekuasaanya yang begitu lama karena kesalahan yang dibuatnya sendiri. Kalau Khadafi membaca sejarah, dia seharusnya paham bahwa kekangan yang begitu lama pada rakyat menyimpan "magma" yang dapat meledak sewaktu-waktu. Khadafi jatuh bukan karena negara Barat mengebom Libya sejak Maret lalu, tapi karena rakyat memang ingin mengenyahkannya.

Kalaulah dia tahu sejarah itu, mungkin dia ingin menjadi kekecualian. Sudah lumrah jika para diktator adalah orang yang paling angkuh. Namun nyatalah, Khadafi sama juga dengan Mubarak, dengan Ceausescu, dengan Mussolini, dan banyak lagi. Lagipula, hidup mereka pun berakhir mengenaskan. Kita tidak tahu pasti ke mana selama ini Khadafi melarikan diri. Ada yang mengatakan dia sudah terbang ke luar negeri, namun ada yang bilang dia masih di Libya. Sedang di wilayah lain, pemerintah sementara Libya pun masih berperang dengan pasukan yang setia pada Khadafi.

Hingga berita kemarin menyatakan bahwa sang kolonel telah tertembak dan tewas. Meski pada mulanya simpang-siur, pada akhirnya benarlah adanya bahwa Khadafi telah meninggalkan dunia ini. Kita tidak menyangka, orang yang begitu berkuasa itu akhirnya mati jua diterjang timah panas. Saya tidak tahu apakah kematian yang seperti itu yang diinginkannya. Yang pasti sebagai tentara, Khadafi tidak bisa mengelak bahwa dia pasti akan berakhir seperti itu dalam sebuah peperangan.

Semua orang di Libya merayakan kematian itu sebagai kemenangan. Dendam kusumat akhirnya terlampiaskan dengan cara yang manis. Khadafi mungkin sedikit beruntung karena dia tidak mati dalam keadaan tersiksa. Tidak sampai ada arak-arakan, tidak sampai digantung, dan tidak sempat diseret-seret layaknya binatang.

Tapi bagaimanapun Khadafi pasti tidak ingin mati dengan sumpah serapah. Apabila dia benar mengidolakan Gemal Abdul Naseer, paling tidak dia menginginkan cara mati seperti idolanya itu. Mati dalam kemegahan dan diantar dengan tetes air mata rakyatnya. Gemal mati dengan segala kebesaran.

Walau begitu mungkin kita akan merindukannya. Bukan karena kejahatan yang telah diperbuat, melainkan kita rindu akan pemimpin yang berani berhadapan dengan negara adidaya. Kita bakal mengenang pemimpin itu sebagai orang yang tidak mau negerinya dijual murah kepada asing. Kita akan memasukkannya dalam daftar pemimpin yang tidak bisa didikte oleh kekuatan apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun