Bangsa kita tidak pernah lepas dari nepotisme. Reformasi menuntut, penyakit ini harus dimusnahkan bersama saudaranya, korupsi dan kolusi. Rezim Soeharto yang diidentikkan dengan ketiganya memang tumbang. Sayang, ternyata KKN bukanlah milik Soeharto semata.
Kalau diperhatikan bagaimana SBY memilih Pramono Edhi Wibowo sebagai Kasad, orang agak ragu mengaitkan dengan nepotisme. Bagaimanapun, jenjang karier adik iparnya ini mentereng. Ia melalui semua jabatan yang paling prestisius di TNI AD: Pangkostrad, Pangdam Siliwangi, Danjen Kopassus.
Karir Mentereng
Sejarah militer Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ketiga kesatuan tersebut. Kodam Siliwangi bermula dari Divisi Siliwangi yang dibentuk semasa revolusi fisik. Tidak hanya tua, Siliwangi adalah gudangnya elit militer Indonesia awal. Dalam buku David Jenkins, Soeharto and His Generals (diterjemahkan tahun 2010 menjadi Soeharto dan Barisan Jenderal Orba), Siliwangi adalah tempat mengabdi lulusan Akademi Militer Belanda—sebelum kedatangan Jepang—seperti AH Nasution, Alex Kawilarang, dan Mokoginta. Kita sudah tahu siapa orang-orang itu dan posisinya dalam sejarah Indonesia. Nasution kemudian menjadi Kasad, Ketua MPRS, sekaligus ahli strategi militer terkemuka.
Alex Kawilarang? Yang satu ini ada hubungannya dengan Kopassus. RPKAD adalah cikal bakal Kopassus yang didirikan tatkala Alex Kawilarang menjadi Komandan Siliwangi. Seperti dapat dilihat di sini, Kawilarang merekrut seorang mantan anggota pasukan khusus Belanda untuk membentuk pasukan elit. Dan, kita sudah tahu kiprah Kopassus dalam sejarah Indonesia.
Yang paling diingat tentu saja keberhasilan mengatasi pembajakan Pesawat Woyla tahun 1981. Kopassus juga ada sejarah kelamnya, persis seperti perjalanan hidup Kawilarang. Ia terlibat dalam Permesta dan bahkan menjadi Panglima Republik Persatuan Indonesia yang memberontak terhadap pemerintah pusat. Tapi, akhirnya kembali juga ke pangkuan Bunda Pertiwi.
Mengenai Kostrad, tentu tidak ada yang bisa meragukan kebesarannya. Meski namanya "cadangan", Kostrad adalah satuan terbesar yang dimiliki TNI. Sampai sekarang Kostrad memiliki 2 Divisi yang bermarkas di Bogor dan Malang. Karena itulah seorang Panglima Kostrad berpangkat letnan jenderal. Karena bintang tiga tinggal selangkah lagi sebelum bintang empat, bisa dipastikan, siapa yang mau jadi Kasad, peluang terbesarnya adalah jika terlebih dahulu singgah di Kostrad. Dua "orang Kostrad" menjadi presiden RI, yakni Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan kebesaran tiga satuan itu, maka orang yang mengatai SBY nepotis seolah akan menelan ludahnya sendiri. Sudah lazim di institusi militer jika jabatan terbaik diberikan berdasarkan prestasi. Pramono jelas memilikinya karena jabatan di kesatuan elit adalah bentuk dari prestasi. Tapi kita tahu, prestasi di militer Indonesia tidak ada hubungannya dengan pertempuran. TNI sekarang sedang "menganggur" setelah masalah Aceh diselesaikan di meja perundingan. Itu artinya, penempatan seseorang di sebuah jabatan pasti lekat dengan subyektifitas.
Kalau kita kembali mengingat masa lalu, bukan kebetulan jika dua "orang Kostrad"—Soeharto dan SBY—memiliki cara yang hampir sama dalam nepotisme rasional mereka.
Sempat dibuang oleh Pangab Benny Moerdani pada 1980-an dari Kopassus ke Kodim dan kemudian Kostrad, Prabowo kemudian kembali ke kandang. Prabowo pun akhirnya menjadi Danjen Kopassus. Bahkan pada masanya, Kopassus mengalami reorganisasi dengan penambahan Grup Kopassus sehingga danjennya menambah satu bintang di pundak—dari brigjen menjadi mayjen. Tiga tahun di Kopassus, awal 1998, Prabowo langsung terbang menggapai bintang ketiga setelah menjadi Pangkostrad.
Hanya sayang, kita tidak tahu apakah dulu Soeharto memang ingin melihat menantunya itu jadi Kasad karena Mei 1998 ia lengser. Tapi, arahnya kelihatan memang ke sana. Prabowo yang kata orang begitu cepat naik akhirnya cepat pula turun. Ia disidang oleh Dewan Kehormatan Perwira karena dianggap mendalangi penculikan aktivis dan palu vonis memutuskan: Prabowo diberhentikan. Dalam usia 47 tahun—usia di mana Soeharto dilantik jadi presiden—riwayat militer Prabowo habis. Tapi tentu karir dagang dan pilitiknya belum. Ia sekarang asyik menunggang kuda mahal di istananya sambil menghitung peluang jadi capres 3 tahun lagi.
KKN Belum Berakhir
Kita miris mendengar gejala-gelaja yang masih menghinggapi negeri ini. Negeri yang merdeka untuk rakyat dan bereformasi demi rakyat juga tapi masih belum sembuh penyakit elitis-nya. Maksud saya, perilaku di mana para elit kita hanya berkutat pada lingkungan mereka sendiri. Korupsi bagaimanapun adalah demi perut para pelaku, keluarga pelaku, dan kelompok pelaku. Nepotisme sama juga. Yang diuntungkan adalah saudara kandung, ipar, anak, menantu. Akibatnya kita bisa duga: para elit tidak sempat mengurus rakyat.
Mengapa tidak sempat? Tabiat KKN salah satunya didasarkan pada kenyamanan dan keamanan diri. Terkait Pramono misalnya, banyak yang menduga hal itu sebagai langkah antisipatif SBY yang sudah berjanji "tidak menyiapkan anak/istri sebagai capres 2014". Dengan memberi tempat di Mabes AD, Pramono nantinya akan "punya jalan lapang untuk jalan kaki 5 menit" dari Mabes AD ke Istana Merdeka, alias menjadi orang nomor 1 di negeri ini.
Sekali lagi, akan sangat sulit mencari kelemahan SBY dengan pemilihan iparnya ini. SBY adalah jenderal pemikir dan tahu menggunakan strategi yang "lawan" belum memikirkannya. Bahkan pihak PDIP pun menerima. Tentu karena mereka tidak bisa mencegah orang yang berprestasi untuk menjadi Kasad.
Tapi, sayangnya, kita tidak dapat merasakan buah reformasi. Lagipula, SBY adalah seorang tokoh reformis di TNI. Melihat keadaan ini, layak dipinjam istilah Sosiolog Mochtar Naim, anggur tua di botol baru. Dalam opininya di Kompas 27 Juni lalu, ia mengatakan, bangsa ini katanya menerima demokrasi dari Barat, tapi tidak meninggalkan budaya asli kita yang feodal. SBY dalam kasus ini juga termasuk yang "menuangkan anggur" itu. Katanya ia seorang reformis, tapi tidak siap meninggalkan nepotisme—meski dibuat rasional—ala Orde Baru.
Bangsa Indonesia pun harus siap menenggak anggur yang makin banyak diminum, makin membuat mabuk tak tentu arah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H