Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kita Munafik

17 Juni 2011   06:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:26 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Karakter gotong royong pun pada akhirnya tak berguna sama sekali. Bahkan Bung Karno yang mengatakan gotong royong adalah perasan dari Pancasila, dulu suka menyontek berjamaah ketika kuliah di Sekolah Tinggi Teknik Bandung (Sekarang ITB). Bayangkan, seorang bapak bangsa berintelektualitas tinggi juga melakukan serupa manusia Indonesia kini.

Melihat kondisi sekarang—dan dahulu—tambah yakinlah saya asal-muasal bangsa yang korup terletak pada "alam bawah sadar" gotong royong yang sering dibangga-banggakan. Kita tidak siap menjadi individu yang berani sendirian mengarungi hidup yang penuh salah-kaprah seperti ini. Bukan maksud saya meniru individualisme ala Barat. Namun hanyalah individu yang "berpendirian teguh di jalan yang benar". Bagaimanapun, orang Indonesia banyak yang paham bahwa apa yang dilakukan salah. Sayang tidak ada keberanian untuk tampil beda dengan orang lain.

Tapi, mungkin hal seperti ini jualah yang akan terus terjadi. Sekarang tampil begitu banyak orang yang bicara soal kejujuran. Bahkan pejabat yang sudah tahu soal ketidakjujuran berbicara bak pahlawan yang menyalahkan guru SD Surabaya. Walikota Surabaya pun telah mencopot guru dan memutasi mereka. Padahal, tidak perlu tampil gagah-gagahan di kala "budaya nyontek" sesungguhnya sudah mereka ketahui.

Di saat Siami dan putranya kini jadi pemberitaan, siapapun yang banyak bicara mengenai hal ini sebenarnya menjadi orang munafik. Bukan maksudnya orang ini tidak jujur; atau lain di mulut lain perbuatan. Tapi, mereka pada dasarnya sudah tahu jika kasus sontek ini lekat dengan pendidikan kita. Tampil bak pahlawan kesiangan, lalu berbuat sekenanya dengan menyalahkan segelintir pihak, padahal mereka tidak berani mendobrak budaya tak jujur ini.

Mendiknas sepatutnya harus berani tak populer di mata masyarakat. Buatlah aturan yang memungkinkan seorang guru dipecat apabila punya indikasi tak jujur. Revolusi budaya memang tak semudah revolusi politik, tapi kuncinya ialah berani. Mohammad Nuh harus bersyukur bahwa dari Surabaya—yang notabene tempat ia lahir, sekolah, kuliah, jadi dosen, jadi rektor, hingga baru sekarang berada di Jakarta—angin revolusi itu berembus. "Pendidikan karakter" yang ia jadikan program Hardiknas lalu punya momentumnya dari seorang Siami yang polos.

Tapi, seperti yang sudah saya tuliskan di atas, karakter yang harus diubah sudah berurat-berakar dalam daging orang Indonesia. Janganlah berwacana lagi. Saya yakin, jika manusia Indonesia dididik menjadi Manusia Berpikir, ia akan bisa mengalahkan "alam bawah sadar" yang merusak bangsa ini. Karena sudah jelas, orang seperti  Nazaruddin, Gayus, Wafid, dll—meski berpendidikan—belumlah sampai ke taraf itu. Semoga anak bangsa ini tidak lahir untuk menjadi koruptor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun