Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presiden Berlumuran Darah

26 Maret 2011   14:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:25 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Barack Obama mendapat hadiah Nobel Perdamaian? Kalau kita ingat kembali penganugerahan Nobel terhadap Obama pada akhir 2009 yang lalu, begitu besar harapan di pundaknya. Sebagai presiden yang latar belakangnya multiras, dia diharap mampu mewujudkan perdamaian di muka bumi —yang kadang diidentikkan karena faktor SARA —yang urung terjadi.

Orang sudah terlanjur berekspektasi dengan janjinya memulangkan tentara dari Irak. Dan memang dia berhasil melakukannya. Begitu pula janji manisnya kepada dunia Islam. Tanpa ragu, orang mudah percaya dia tidak membenci Islam. Dia berpidato di Mesir yang merupakan pusat peradaban Islam.

Tapi apa boleh buat. Hadiah Nobel ternyata bukan menunjukkan hasratnya pada perdamaian. Hadiah Nobel hanyalah ekspektasi Komite Nobel terhadap orang paling berkuasa di muka bumi itu.

Hari-hari belakangan kita tak menyangka, dia menyerang Libya. Tentu, tidak bisa dipungkiri dalih yang digunakannya: membantu rakyat Libya dari pembantaian rezim Khaddafi. Rezim itu telah terbukti membunuh secara membabi buta rakyat sipil yang tak bersalah.

Namun itulah yang telah terjadi. Dewan Keamanan PBB yang tak lain boneka Amerika dalam membela kepentingannya mengizinkan penyerangan udara atas negeri yang kaya minyak itu. Sekutu-sekutu setia Amerika pun turut serta.

Penyuka Perang

Dengan penyerbuan itu, bertambah pula sejarah yang dibuat Amerika. Negara itu mencatatkan setiap presidennya pernah melakukan agresi militer ke negara lain tatkala sedang menjabat.

George Bush Junior dengan Perang Irak dan Afganistan; Bill Clinton dengan Somalia; George Bush Senior dengan Perang Teluknya; Ronald Reagan dengan penyerbuan udara atas Libya tahun 1986. Tak usah disebutkan yang lain.

Tabiat perang para presiden mungkin bisa menegaskan  bahwa Amerika memang polisi dunia. Dalam situasi pelik yang dihadapi negara, mesin-mesin perang Paman Sam siap sedia bekarja. Tapi tidak hanya itu. Amerika juga turut serta memicu negara lain untuk berada di belakang mendukung tiap agresi.

Sungguh sangat disayangkan. Negara-negara pengekor Amerika itu hanya berani unjuk gigi ketika Amerika berada di depan mereka. Bahkan, untuk menghadapi negara yang tidak sebanding kekuatannya dengan mereka. Beranikah mereka menyerbi Libya jika Amerika tidak turut serta? Saya yakin mereka tidak berani. Negara-negara itu masih memiliki permasalahan dalam negeri yang amburadul. Prancis yang memimpin pasukan multinasional PBB itu bergelut dengan permasalahan tenaga kerja; negara Eropa lain pun dihinggapi krisis ekonomi yang hampir sama.

Obama-lah yang telah membuat Libya jadi seperti ini. Mungkin bukan Obama sebagai pribadi tapi Obama sebagai pelengkap dari struktur politik Amerika; sebagai orang yang mengisi "sejarah" kepresidenan. Siapapun yang menjadi presiden Amerika periode 2009-2013 pasti melakukan hal yang sama, meski sudah banyak contoh betapa perang bukanlah solusi akhir dalam menyelesaikan konflik.

Lalu bagaiman cara menyelesaikan konflik Libya ini? Saya tidak tahu. "Tidak pernah ada perang yang baik," kata Benjamin Franklin, "juga perdamaian yang buruk". Setidaknya Obama pernah mendengar kata bapak bangsanya itu. Tapi kita pun tahu bagaimana presiden Amerika sejak Perang Dunia II begitu percaya diri dalam mengumbar syahwat agresornya. Perdamaian bagi mereka ini belum diusahakan, tapi langsung ambil langkah perang yang tidak tahu bakal berakhir seperti apa.

Sayang sekali, Obama mengulangi tabiat buruk para penerusnya. Bukan seperti Franklin Roosevelt yang isolasionis ketika negaranya dalam krisis —padahal krisis ekonomi Amerika sekarang  konon terbesar setelah Depresi Besar tahun 1930-an —Obama malah ekspansif. Di Afganistan masih, kini Libya.

Saya bukan pendukung Khaddafi. Saya justru yakin dia bakal jatuh. Demokrasi itu keniscayaan sejarah. Kalau Khaddafi melanggar sebuah kepastian, sang waktu yang akan membuktikannya.

Yang jadi soal, mampukah rakyat Libya bersatu kalau si "anjing gila" sudah enyah? Saya kira hal inilah yang lebih penting. Mesin perang negara-negara barat mungkin mampu meluluhlantakkan Libya secara fisik, namun sesudah itu apa?

Satu-satunya yang pasti hanyalah seperti yang dipercaya selama ini: minyak! Rakyat Libya yang suku-sukunya terpecah itu kita tak tahu bagaimana jadinya nanti. Tunggu saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun