Perlukah kita melakukan revolusi? Dalam hati terdalam saya tidak berharap. Apalagi jika harus memakan korban seperti 45 tahun lalu. Tidak hanya nyawa, tapi juga kerusakan yang ditimbulkannya.
Malu kita jika seorang Nurdin Halid begitu "istimewa"-nya. Sekarang, bonek dan the jack yang adalah musuh abadi, justru bersatu di Jakarta. Sesuatu yang mustahiiiiiiil dalam sepakbola kita. Mereka malah akur karena seorang yang jelas-jelas tak pantas. Kalaulah karena kita mendukung Timnas, sah-sah saja.
Tapi, bukankah di Mesir sana Ihwanul Muslimin dan kaum kristiani juga bersatu demi lengsernya orang seperti Mubarak? Benar. Dan tampaknya demi cita-cita bersama kita pun "terpaksa" melakukan hal yang sama.
Sebelum kita tahu apa yang terjadi esok, mungkin ada baiknya kita tonton dulu Timnas kita berlaga malam ini. Meski televisi yang menayangkannya adalah milik kroni dari si persona non grata, apa boleh buat. Kita lakukan itu semata-mata demi Yongki dan kawan-kawan yang membawa bendera sakral Sang Merah Putih!
Hasil pertandingan akan sangat menentukan "bahan bakar" para revolusioner sepakbola kita. Jika menang, mereka mungkin tidak kendur semangatnya. Pabila kalah, sudah jelas esok akan menjadi hari yang semakin tragis bagi para borjuis sepak bola itu.
Tapi, semoga semua terkendali. Tentara jelas mendukung rakyat, karena George panglimanya. Polisi tak mungkin berani tembak sembarangan. Tapi siapa yang tahu. Jangan-jangan esok sama dengan 45 tahun lalu. Si "mubarak sepakbola" jatuh. Sejarah toh memang kelewat sering untuk berulang..., bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H