Hingga akhirnya, terjadi apa yang menjadi kata pembuka tulisan ini: ada korban. Seorang mahasiswa UI tewas tatkala berdemo di Istana Merdeka. Arief Rahman Hakim nama mahasiswa itu. Tapi, jangan duga bahwa tentara yang melakukannya.
Penembaknya adalah Resimen Cakrabirawa―yang terdiri dari polisi dan prajurit 3 angkatan. Mereka bukanlah "tentara" dalam arti komando. Mereka tidak tunduk pada panglima AD, sebab bertanggung jawab langsung terhadap Bung Karno. Tentara yang benar hanya berada di bawah komando Soeharto.
Penembakan itu memang berakibat fatal. Bung Karno memerintahkan KAMI dibubarkan dan melarang mahasiswa berkumpul. Tapi yang namanya suasana "revolusi", tidak mungkin kehabisan akal. Mahasiswa justru mendirikan Laskar Ampera Arief Rahman Hakim yang kerjanya juga sama. Tapi yang satu ini jelas lebih efektif. Dengan memakai nama sang "pahlawan", simpati pasti bermunculan.
Pada akhirnya kita sudah membaca. PKI dibubarkan lewat Supersemar. Setahun kemudian, giliran Bung Karno yang diturunkan. Sebuah drama yang tidak disangka-sangka oleh orang yang seumur hidupnya hanya berjuang untuk Indonesia.
Giliran PSSI
Gugurnya Arief Rahman Hakim itu terjadi pada tanggal 24 Februari 1966. Tanggal ini pasti akan dikenang oleh generasi '66―yang kelak terbukti hanya menjadi alat dari seorang Soeharto.
Esok, 45 tahun sudah peristiwa itu. Sekarang kita juga membutuhkan "revolusi". Namun, bukan menghadapi presiden dan pemerintah. Hanya menghadapi seorang ketua umum sebuah asosiasi sepakbola.
Entah kebetulan atau tidak, esok rencananya segenap elemen suporter akan melakukan unjuk rasa besar-besaran. Mereka menuntut agar seorang yang 45 tahun lalu masih berada di kelas 3 sekolah dasar, mundur dari jabatannya.
Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI harus segera enyah. Sudah jelas latar belakangnya. Dia adalah narapidana atas kasus koruptor: sebuah tindakan yang tidak pantas dalam dunia olahraga.
Nurdin Halid dengan segala cara hendak mempertahankan kursinya itu. Dua orang yang sebenarnya pantas untuk menantangnya di Bali nanti, dijegal dengan tafsiran aturan yang seenaknya. Padahal, hanya di tangan dua orang inilah masyarakat sepak bola Indonesia berharap. Sebuah negeri terbesar ke-4 yang tidak hanya kering prestasinya, namun ambruk pula kompetisinya.
Mungkin masih ada harapan. George Toisutta dan Arifin Panigoro masih bisa mengajukan banding. Tapi kita sudah duga hasilnya. Selama Nurdin dan kroninya itu masih memegang tumpuk kekuasaan, tak mungkin ada fair play di sana. PSSI bukan lagi seperti didirikan Suratin di zaman penjajahan. Dulu, mereka lahir untuk melawan ketidakadilan. Sekarang, PSSI justru berada di pihak yang menabuh perang terhadap akal sehat dan hati nurani rakyat.