Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Impor Mesir

28 Januari 2011   13:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:06 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sesudah peristiwa G30S yang membuat Soeharto naik ke puncak kekuasaan, hubungan diplomatik Indonesia dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dibekukan. Tentu karena Pemerintah Komunis RRC diduga ikut membantu pemberontakan G30S―yang mana Rezim Soeharto menuduh―Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang. Bahkan jauh sebelumnya, para mahasiswa dalam aksi-aksi Tritura sudah merusak kedutaan RRC yang berada di Jakarta.

"Dendam" itu berakhir 25 tahun kemudian. Tahun 1990 Soeharto membuka lagi hubungan kedua negara. RRC moderen karena Deng Xiaoping sudah mereformasi negaranya. Mereka bukan lagi pengekspor revolusi ala Mao ke negara-negara lain. RRC telah menjadi macan ekonomi, beralih menjadi eksportir dagang.

Kita sudah merasakan efek normalisasi itu. Baju, sepatu, tas, hingga celana dalam yang dipakai orang Indonesia "patut diduga" buatan mereka. Inovasi peralatan elektronik mahal dari Barat bisa didapat tiruannya di sini.

Tapi, apakah pembekuan selama 25 tahun itu semata-mata karena de javu komunisme? Tentu saja tidak. Toh Indonesia tetap berhubungan dengan negara-negara komunis. Yang sebenarnya ditakuti Rezim Soeharto adalah ancaman atas kekuasaan mereka. Sebab kekhawatirkan penggulingan ala Iran juga ada. Syah Reza Pahlevy diturun paksa oleh rakyat dengan Ayatollah Rohullah Khomeini sebagai pembimbing moralnya. Inilah yang disebut Revolusi Islam Iran.

Segera, Soeharto melarang siswi dan mahasiswi di sekolah-sekolah negeri mengenakan jilbab. Kelompok-kelompok Islam (ekstrim kanan) makin dicurigai. Sebab, bukan tak mungkin revolusi Iran itu bisa diekspor juga ke Indonesia.

Sebenarnya, rezim otoriter di manapun memiliki kesamaan. Mereka mau terus berkuasa dengan dukungan militer di belakangnya. Mereka juga hidup mewah di Istana mereka dan lupa akan tanggung jawab terhadap rakyatnya. Kalau rakyat dalam suatu negara demokrasi bisa menuntut mundur pemimpin mereka, tidak demikian dalam Rezim diktator. Rakyat dibiarkan terus melarat dan pers tak diizinkan untuk hidup.

Namun, sejarah manusia telah menunjukkan, selalu ada jalan keluar dari setiap kebuntuan. Betapapun sebuah rezim mengekang warganya, rakyat punya caranya sendiri untuk melawan. Hanya, harga yang dibayar untuk itu memang mahal. Perlu darah, harta, dan instabilitas ekonomi dalam tempo yang tidak pendek.

"Berkas-berkas" sejarah revolusi memperlihatkan hal demikian. Jika revolusi didefinisikan sebagai perubahan yang begitu cepat dan radikal, maka kata "radikal" yang dimaksud tentu saja menunjukkan pengorbanan besar tadi. Revolusi Amerika, Prancis, Rusia, bahkan mungkin perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 adalah sedikit contoh bagaimana kata radikal tadi terejawantahkan. Rakyat ingin berpindah dari dunia lama ke dunia yang baru. Dengan kesadaran bersama, semua menghendaki satu kata: ganti!

Mungkin hal itulah yang menjadi kesadaran semua rakyat Mesir hari terakhir ini. Mereka bosan dengan Rezim Hosni Mubarak yang tak membawa kemajuan apa-apa. Namun sesungguhnya siapa yang berperan dalam menyulut upaya itu?

Seperti yang saya sebutkan di awal, Soeharto takut pada RRC dan Iran karena model revolusi mereka bisa saja terjadi di Indonesia. Dalam kasus Mesir, tampaknya revolusi yang mereka coba buat tidak ada tendensi kiri atau kanan. Mereka hanya mencoba untuk meniru tetangga mereka, Tunisia, yang berhasil menggulingkan Rezim diktator Ben Ali.

Ketakutan inilah yang mungkin sekarang menghinggapi Hosni Mubarak. Rakyat Mesir sudah mendapatkan momentum. Mereka tak mau pemimpin yang sudah berkuasa sejak 1981 itu kembali bertahta atau pun menjadikan anaknya sebagai penerus. Mereka menghendaki perubahan.

Tapi, apakah tepat jika menyebut apa yang terjadi di Tunisia dan (kemungkinan) Mesir itu sebagai revolusi? Apakah sekedar pergantian pemimpin bisa dikatakan sebuah revolusi? Mengingat, kalau tuntutan rakyat hanyalah perbaikan ekonomi, tak ada bedanya dengan permintaan serupa yang terjadi di Indonesia atau di Amerika. Sehebat apapun perubahannya, tidak mungkin digunakan kata "revolusi" melainkan perubahan yang wajar belaka.

Satu-satunya alasan logis gerakan rakyat Mesir bisa disebut revolusi hanyalah jika mereka menginginkan negaranya berubah total dari negara otoriter menuju negara demokrasi seutuhnya. Namun, kalau hanya sekedar menjadi negara demokrasi, mengapa proses yang sama ketika tahun 1998 di Indonesia hanya disebut sebagai reformasi dan bukan revolusi? Apakah ini hanya semata-mata faktor selera dan semantik?

Saya kira, yang dimaksud revolusi sebuah negara adalah "sebuah perubahan yang paling radikal dibanding perubahan-perubahan radikal lainnya". Bagi bangsa Indonesia, Revolusinya adalah revolusi fisik tahun 1945-1949. Sesudahnya, tidak! Baik itu ketika Bung Karno dalam rezim otoriternya menggunakan semboyan "revolusi belum selesai" dengan tujuan melawan Nekolim yang dipimpin oleh seorang Pemimpin Besar Revolusi. Atau juga penggulingan penguasa lewat gerakan mahasiswa tahun 1966 dan 1998. Tidak ada kata revolusi disebut.

Tidak juga Amerika punya revolusi sesudah tahun 1776. Padahal sepanjang sejarahnya, Amerika mengalami masa-masa peralihan yang pantas disebut sebagai sebuah revolusi. Misalnya perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi mesin yang sampai sekarang dianggap revolusi monopolinya Inggris. Prancis berkali-kali mengalami pergantian pemmpin yang sering bergejolak. Tapi, tetap yang diingat adalah Revolusi 1789 dengan penyerbuan ke penjara Bastille dan peng-guillotin-an Louis XVI dan Marie Antoinette. Pun, Rusia tidak akan menyebut runtuhnya Sovyet dengan revolusi sebab Revolusi Oktober Lenin tahun 1917 tetaplah yang paling radikal.

Andaikata Mesir menyebut lepasnya mereka dari Penjajahan Inggris adalah Revolusi Mesir, maka yang akan terjadi nanti bukanlah revolusi. Pun, kalau Gamal Abdul Nasser dengan kudetanya menggulingkan Raja Farouk  1 tahun 1952 disebut revolusi.

Meski begitu, rakyat Mesir sendirilah yang paling tahu. Jika mereka sadar demokrasilah yang paling radikal mereka butuhkan, tidak ada keraguan bahwa inilah Revolusi Mesir sesungguhnya.

Demokrasi bukanlah fatamorgana di padang pasir tandus. Bukan pula semacam latah-latahan meniru yang lain. Demokrasi harus membuat sang demos menjadi yakin bahwa tidak ada yang paling mahal diperjuangkan selain demokrasi itu sendiri. Kapan mereka mengetahuinya? Tatkala Hosni Mubarak dan antek-anteknya sudah terjungkal!

Namun, bagaimana nanti jika Mesir justru jatuh ke tangan kaum radikal, katakanlah Ikhwanul Muslimin? Bisakah demokrasi berlangsung? Apalagi kita tahu bahwa Ikhwanul Muslimin sudah terlanjur dicap kelompok teror―bersama-sama Hamas, Hizbulllah, Hizbut Tahrir―oleh sang penafsir "terbaik" demokrasi, Amerika Serikat.

Mungkin, inilah momen tepat untuk mengetahui respon Paman Sam seperti apa. Kita sudah terlanjur kecewa karena Amerika masih adem-ayem menyimak penggulingan Ben Ali yang jelas-jelas bertangan besi. Padahal Amerika tak jarang memaksa demokrasinya ke negeri lain dengan kekerasan. Tanpa perlu mengorbankan uang dan anak muda mereka, proses itu bisa berlangsung di Tunisia.

Sekarang sekutu mereka Mesir akan mengalami hal yang sama. Namun, Pemerintah Amerika tampaknya tidak memberi respon apa-apa. Ataukah justru mereka mendukung Mubarak? Kalau begini, tentu saja kita dan rakyat Mesir kecewa karena Amerika belum bisa mengubah citranya sebagai negara bermuka dua.

Meski begitu, Amerika paling tidak sudah memberikan perannya. Jejaring sosial buatan warganya, Facebook dan Twitter―meski diblokir―dijadikan sarana untuk penggalangan massa. Jika nanti penggulingan ini berhasil apakah kita bisa menyebutnya "revolusi ala Facebook dan Twitter"?

Apapun namanya, revolusi jelas bisa diimpor (semoga Presiden kita tidak terganggu dengan pernyataan ini). Dan kita harus mendukung Revolusi Mesir tersebut. Mesirlah negara pertama yang mengakui Kemerdekaan kita―berarti mendukung Revolusi kita. Kita juga yang nantinya paling pertama mengakui pemerintahan baru yang demokratis. Semoga...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun