Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gamawan Bersilat Lidah

18 Januari 2011   12:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:26 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang ada dalam benak kita bila mendengar nama Gamawan Fauzi? Bekas gubernurkah? Anti-korupsi kah? Brutus-kah? Saya tidak tahu sebab setiap orang pasti memiliki kadar emosional tersendiri apabila mendengar namanya. Tapi, dalam melihat sepak terjang setahun terakhir pastilah kita sepakat apabila menyematkan Gamawan sebagai menteri paling kontroversial.

Mungkin ada yang merasa Tifatul Sembiring lebih pantas. Kita tahu sendiri, menteri satu ini juga paling sering mengumbar wacana-wacana sensasional. Tidak hanya menyangkut kebijakannya, tapi juga pribadinya. Terakhir, mantan presiden PKS itu menyulut kontroversi karena akan melarang RIM beroperasi di Indonesia.

Tapi Tifatul "berhak" melakukan itu. Dia memiliki kekuatan politik di belakangnya. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak mungkin tidak pasti membela mantan presidennya itu dari serbuan kritik. Jika presiden berani me-reshuffle kabinet, pasti kursi tifatul aman, minimal digeser jabatannya.

Bagaimana dengan Gamawan? Sampai sekarang saya tidak habis pikir mengapa SBY begitu menganakemaskan manterinya yang satu ini. Dari pemilihan dirinya sebagai deklarator pasangan SBY-Boediono menjelang pilpres 2009 yang lalu hingga jarangnya beliau disentil presiden. Gamawan mungkin boleh disebut sebagai gubernur terbaik di Indonesia dan pantaslah jika naik pangkat menjadi menteri. Bersama Fadel Muhammad yang sukses meningkatkan produksi jagung di Gorontalo, Gamawan melenggang menjadi pembantu presiden.

Namun, Fadel jelas memiliki faktor partai di belakangnya. Sebagai pendukung Aburizal Bakrie pada Munas Golkar tahun 2009―bahkan menjadi ketua sidangnya yang menguntungkan pendukung Bakrie―dia pasti dicalonkan partainya meski bukan pendukung SBY pada pilpres 2009. Tapi Gamawan?

Gamawan mungkin tahu dirinya dianakemaskan presiden. Seolah tanpa takut akan reshuffle atau yang lainnya, dia begitu berani mengeluarkan isu-isu kontroversial. Beberapa yang saya ingat: calon kepala daerah tanpa cacat moral, tidak perlu pilkada langsung untuk bupati/walikota, dan yang paling kontoversial tentu saja tatkala Gubernur DIY rencananya dipilih bukan ditetapkan.

Semua wacana kontroversial itu umumnya lebih berhubungan dengan eksperimen demokrasi yang hendak diterapkan di negeri ini. Calon kepala daerah tanpa cacat moral misalnya berkaitan dengan apakah demokrasi itu bisa sebebas-bebasnya. Dengan mengatakan kepala daerah harus bersih dari noda dan cela berarti ada upaya membatasi hak seseorang untuk dipilih. Begitu juga dengan wacana peniadaan pilkada langsung untuk gubernur dengan dalih pemborosan uang negara. Padahal kita baru 5 tahun mengadakan eksperimen demokrasi tersebut.

Rencana pemilihan Gubernur DIY mungkin yang paling banyak memakan korban. Rakyat Yogya berdemo. Lembaga Survey sibuk. Bahkan Ketua DPD Partai Demokrat DIY harus mengundurkan diri demi menjaga kehormatan ayahandanya. Semua itu hanya karena Gamawan tidak tahu bagaimana harus tampil berhadapan dengan publik dan media. Sekiranya RUU itu langsung digogok bersama DPR tak mungkin sang menteri menjadi "korban" di mata masyarakat.

Meski sudah cukup banyak, ternyata Gamawan masih merasa kurang melempar wacana yang kontroversial. Terakhir pada Jawa Pos hari ini diberitakan niat pemerintah yang tertuang pada RUU Pemilihan Kepala Daerah untuk hanya "memilih kepala daerah" dan bukan wakil kepala daerah. Wakil kepala daerah rencananya harus berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan dilantik secara terpisah.

Wacana ini digulirkan karena tidak mau pengalaman pilkada Kota Surabaya terulang di daerah lainnya. Kita tahu, pada pilkada Surabaya yang lalu Walikota Surabaya periode sebelumnya mencalonkan diri sebagai wakil walikota. Hal ini dikarenakan pembatasan jabatan walikota dua periode berturut-turut. Tak disangka, Bambang DH sang walikota itu berhasil memenangkan pilkada bersama pasangannya Tri Rismaharini.

Gamawan barangkali tidak mau pilkada Surabaya menjadi preseden yang secara etika sangat tidak pantas itu. Dengan mensyaratkan wakil walikota/bupati harus PNS, berarti walikota/bupati tak mungkin bisa mengajukan dirinya lagi menjadi wakil walikota/bupati karena otomatis sebagai kepala daerah dia bukanlah PNS―berhenti jadi PNS.

Alasan normatif yang digunakan oleh Gamawan adalah pasal 18 ayat 4 UUD 1945 hasil amandemen yang isinya: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupatan, dan kota dipilih secara demokratis.

Jika kita tanya pada anak SD yang baru belajar membaca, mungkin si anak SD itu bakal berpikiran sama dengan Gamawan. Secara tata bahasa memang yang dipilih secara demokratis itu kepala daerah dan bukan bersama-sama dengan wakilnya.

Tapi, Gamawan bukanlah anak yang baru bisa membaca dan tahu politik kemarin sore. Apapun di dunia ini yang namanya pemilihan secara demokratis kepala pemerintahan―khususnya presidensial―jelas-jelas memilih sepaket dan bukan "separuh". Proses pemilihan kepala daerah bukanlah pemilihan raja yang memang tidak memiliki wakil.

Jika alasan wacana itu adalah agar tidak ada bambang dh-bambang dh lainnya di bumi Indonesia ini saya sangat sepakat dengan sang menteri. Bagaimanapun, sebuah jabatan publik sangat mulia nilainya. Jika seseorang turun pangkat hanya gara-gara peraturan membolehkannya―di sisi lain jabatan seharusnya makin menaik―tentu saja si bersangkutan bakal dituduh haus jabatan. Andaikan memang rakyat masih menyukainya tidak sepantasnya pula rakyat dibodohi. Mendidik rakyat agar memiliki kedewasaan berdemokrasi juga tidak kalah penting. Sebab kepemimpinan itu sebenarnya adalah regenerasi. Apa gunanya pemimpin baik dalam beberapa periode jika nantinya tak ada pengganti yang mumpuni? Dengan menyiapkan diri menjabat dalam periode yang sudah ditetapkan akan membuat generasi berikutnya berani tampil ke depan.

Tapi itulah hebatnya Mendagri kita. Selalu saja ada celah bahasa yang memang tidak sempurna untuk memuluskan wacananya. Saya tidak habis pikir mengapa dia mesti menggunakan logika itu? Tidakkah sebaiknya menteri mengubah syarat yang lebih masuk akal. Katakanlah " bupati/walikota yang sudah dua kali periode berturut-turut menjabat tidak boleh mengajukan diri lagi sebagai wakil bupati/walikota pada periode berikutnya." Saya rasa hal ini lebih bijak dan relatif lebih bisa diterima.

Saya khawatir Gamawan terpengaruh oleh pemilihan di organisasi sosial ataupun politik. Bagaimanapun memang pemilihan di orsospol itu hanya memilih ketua saja. Wakil ketua dan pembantu-pembantunya ditentukan sesudah sang ketua terpilih. Tampak memang prerogatif mutlaknya. Namun jabatan kepala daerah jelaslah tidak sesederhana itu. Ada proses politik di dalamnya. Ada lobi-lobi yang diperlukan untuk memenuhi syarat batas pencalonan ataupun faktor keterpilihan sang wakil.

Belum lagi bagaimana nantinya dengan legitimasi sang wakil apabila menggantikan kepala daerah yang berhalangan tetap. Kalau wakil kepala daerah adalah PNS, artinya yang bersangkutan tidak memiliki parpol. Dan sudah menjadi realita umum apabila tanpa dukungan partai politik di parlemen kebijakan tidak akan jalan dengan mulus.

Dengan kerumitan-kerumitan yang lebih mungkin terjadi inilah Gamawan seyogianya tidak gegabah membuat rancangan UU. Memang RUU itu masih harus digodok bersama anggota dewan. Tapi, yang harus diperhatikan oleh seorang Gamawan adalah jangan begitu mudah bersilat lidah untuk mencari pembenaran atas wacana yang digulirkannya. Mengurus negara bukan soal satu dua kata belaka. Tapi ada landasan historis, sosiologis, empiris yang tak dapat diabaikan. Hal inilah yang sering dilupakan olehnya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun