Saya bersyukur ada yang memberi SBY pelajaran berharga. Bahwa tidak semua orang bisa mengorbankan idealisme demi sebuah jabatan. Dalam demokrasinya SBY, mungkin tidak terpikirkan sama sekali hal itu bisa terjadi. Prabu - seorang yang menjadi bagian dari apa yang disebut monarki oleh SBY - bisa menunjukkan bahwa dalam monarki itu ada kehormatan. Ada harga diri sebagai seorang manusia. Dalam monarki yang oleh SBY diantitesiskan dengan demokrasi itu, ternyata menjadi manusia yang bebas bisa lebih diakomodir ketimbang bergabung dengan partai yang berembel-embel demokrasi.
Saya sendiri sebenarnya heran dengan Keraton Yogyakarta. Mengapa pengaruhnya bisa bertahan begitu lama? Di saat kerajaan-kerajaan lain sudah tidak punya pengaruh, digerus oleh "demokrasi" Keraton Yogya masih dicintai oleh masyarakat Indonesia (Lihat survey kompas yang menyebutkan 50% lebih orang non-Yogya menghendaki penetapan, bukan pemilihan langsung). Apa gerangan yang menyebabkannya?
Bapak sosiologi Ibnu Khaldun menyebut suatu peradaban akan mengalami siklus seperti ini: lahir, tumbuh, berkembang hingga runtuh. Keraton Yogya lahir dari politik devide it impera Belanda yang menghasilkan perjanjian Giyanti tahun 1755 dan memecah kerajaan Mataram menjadi dua, Kesultanan Yogya dan Kesunanan Surakarta. Keraton itu kemudia pecah lagi dengan Paku Alaman. Tapi, dalam masa 200 tahun ini, Keraton Yogya tidak malah runtuh seperti kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan rajanya menjadi wakil presiden di negeri yang luasnya lebih besar dari wilayah Kerajaan Mataram paling jaya sekalipun.
Runtuhnya sebuah kerajaan bisa terjadi secara alami maupun tidak. Tapi yang alamipun hancur apabila dikebiri lebih dahulu. Lihat saja dengan Kerajaan Aceh, Batak, Deli, Bali, dan lain sebagainya. Hancurnya kerajaan ini sendiri membuat lahirnya republik jauh lebih mudah. Boleh dibilang hanya Keraton Yogya dan Surakarta saja yang pengaruhnya paling kuat.
Sultan Hamengkubuwono IX memilih bergabung dengan Indonesia. Untuk membalas budi, pemerintahan Bung Hatta memberi status istimewa pada tahun 1948. Oleh karenanya eksistensi Keraton akan terus ada karena rajanya masih tetap berwibawa.
Mendengar SBY mengatakan "tidak boleh ada monarki", saya menduga dalam alam bawah sadarnya SBY menunjukkan dirinya sebagai demokrat sejati. Bahkan hampir sama dengan seorang komunis yang memang antifeodalisme. Tapi dia tersandera oleh sejarah dan realita politik bangsanya.
Apakah SBY menghendaki keraton Yogya runtuh dan terbuktilah apa yang dikatakan Ibnu Khaldun tadi? Mungkin saja. Tidak boleh ada monarki berarti juga tidak boleh ada feodalisme. Dengan menjauhkan sang raja dengan rakyat, maka secara alamiah dalam beberapa tahun mendatang keraton akan mati secara politik.
Meski begitu, SBY paling tidak sudah kalah. Di dalam partainya sudah ada orang yang secara gamblang berani melawannya, meski dengan cara njawani. Kehormatan seorang pangeran bernama Prabukusumo sudah mengingatkan kita pentingnya kehormatan.
Karena benarlah adagium noblesse oblige, dalam jabatan mulia terdapat tanggung jawab yang besar! Lucunya adagium itu lahir dari feodalime di Eropa. Dan di Yogyakarta pun, berlaku hal yang sama. Bagi SBY, apakah dia memilikinya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI