Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komuniskah Korut?

12 Oktober 2010   03:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:30 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kira sebagian besar kita akan menjawab pertanyaan di atas dengan "ya". Bukan karena pahamnya kita akan komunisme itu sendiri, melainkan karena kecenderungan negara komunis menjadi diktator dan tertutup seperti jamak kita saksikan.

Di Indonesia, membicarakan komunisme secara terbuka masih dilarang, termasuk di Kompasiana ini. Kita tak boleh menghasut orang untuk menganut ideologi itu. Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 masih belum dicabut. Kalau toh komunisme mau dibicarakan, maka itu hanya boleh dalam studi ilmiah di perguruan tinggi.

Tapi melihat  kasus Korut jelas tidak akan ada yang terpengaruh untuk mengaut ideologi tersebut.  Bagaimana tidak, kita pasti membayangkan yang buruk-buruk bila mendengar nama Korut disebutkan. Bagi yang termakan "poros setan"-nya mantan presiden AS, George Bush maka Korut akan dipersepsikan sebagai negara nuklir yang membangkang terhadap Amerika. Bagi aktivis HAM, Korut dianggap tidak menghormati kebebasan, malah menempatkannya pada titik nadir. Pecinta sepakbola juga masih ingat bagaimana pemain Korut bermain - meminjam istilah pelatih Brasil Dunga - layaknya "menutup toko" pada Piala Dunia lalu. Sangat defensif yang cenderung negatif. Belum lagi minimnya data kekuatan Korut yang diakibatkan oleh akses meliput yang sangat dibatasi. Intinya, tidak ada yang positif dari negeri itu.

Namun sekarang Korut sedang gencar-gencarnya diberitakan. Apalagi selain berita suksesi kepemimpinan Korut yang akan terjadi. Anak pemimpin Korut yang sekarang, Kim Jong Il dikabarkan akan menggantikan kedudukan bapaknya yang konon tidak pasti umurnya itu. Kim Jong Un meski masih sangat muda  sudah dipersiapkan sebagai putra mahkota yang bakal mengisi jabatan pemimpin Korut - bukan presiden yang menjadi milik abadi Kim Il sung, kakeknya - apabila ayahnya berhalangan.

Bagi yang mempelajari teori komunisme - tanpa harus menjadi penganutnya - kita mungkin heran dengan apa yang terjadi di Korut itu. Bagaimana tidak, komunisme yang dijadikan asas Partai Pekerja yang otomatis menjadi ideologi negara, bisa menghasilkan kepemimpinan yang aneh tersebut. Aneh sebab model dinasti itu mungkin bertentangan sama sekali dengan prinsip komunisme yang diajarkan Karl Marx-Frederich Engels dan diwujudkan Lenin.

Teori klasik marxis menyebutkan ada lima tahapan dalam masyarakat. Komunal primitif, perbudakan, feodal, kapitalisme hingga akhirnya mewujudkan suatu msayarakat sosialis. Namun pada prakteknya, komunisme Korut bertolak belakang degan teori paling dasar itu. Bukannya menghapus masyarakat feodal dan pada akhirnya menghasilkan masyarakat sosialis akibat dialektika sejarah, Korut malah melahirkan feodalisme baru dalam kepemimpinan meski mereka berpikir sudah menyelesaikan revolusi sosialis sejak berkuasanya Partai Pekerja - partai komunis di Korut.

Model kepemimpinan dinasti jelas-jelas feodal. Kekuasaan dimiliki oleh satu keluarga secara turun-temurun dan bukan melihat kemampuan masyarakat. Pengganti seorang pemimpin akibat adanya gen biologis, bukan gen ideologis yang tak ada sangkut-pautnya dengan keturunan.

Corak feodal dalam masyarakat Korut mungkin tak sama dengan Eropa di mana Marx menjadi bagiannya. Tapi kekuasaan yang diwariskan turun-temurun dalam sistem politik Korut sekarang sama saja dengan yang terjadi di Eropa dulu. Anak mengganti ayah sebagai pemilik tanah atau wilayah. Padahal Marx sendiri sangat menolak sistem waris harta, apalagi waris kekuasaan yang bukan karakter dari masyarakat yang adil dalam terminologi marxis.

Lantas, mengapa Korut masih bangga dengan identitas komunisme-nya? Sangat jelas kelihatan, komunisme yang dipraktekkan di Korut hanyalah semacam alat untuk melanggengkan watak diktator Kim Il Sung dan keturunannya. Sebab secara teori mereka tidak pantas menjadi negara komunis. Dan ironisnya pula, sudah sering kita dengar kegemaran berfoya-foya pemimpin mereka beserta keluarganya. Apakah hal itu pantas di negara yang masih mempertahankan prinsip masyarakat sosialis "sama rata sama rasa" di tengah kemiskinan dan kelaparan kaum proletar?

Komunisme Korut mungkin hanya sebatas identitas belaka. Di saat negara komunisme model soviet hancur satu persatu sepeerti Uni Sovyet, dan negara-negara Eropa Timur. Cina yang sudah menjadi kapitalis meski tetap mempertankan identitas komunismenya. Korut masih mampu mempertahankan model tersebut tanpa ada keinginan berubah sedikitpun.

Faktor dinasti dalam benak orang-orang komunis di sana selain bisa mewariskan gen pada pemimpin berikutnya, bisa juga semacam harga pasti bertahannya sebuah ideologi. Berkaca pada Sovyet yang hancur akibat "gatal"-nya Mikail Gorbachev, atau Cina yang justru menjadi kapitalis ketika dipimpin Deng Xiaoping mungkin dijadikan pelajaran bagi mereka. Dinasti adalah cara satu-satunya mewariskna ideologi hingga beberapa generasi yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun