Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

TNI di Barak

5 Oktober 2010   02:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:42 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentara Nasional Indonesia (TNI) berulang tahun hari ini. Dalam perjalanan yang panjang itu kita tidak perlu sangsikan lagi darma bakti TNI bagi Ibu Pertiwi. TNI-lah yang mempertahankan  kemerdekaan. TNI pula yang menjaganya hingga sekarang.

Tentu tidak semua catatan sejarah yang digoreskan TNI kita itu manis. Lazimnya angkatan bersenjata di negara-negara lain, tidak bisa tidak TNI -pernah - terlibat juga dalam politik. Bukan model aristokrasi kerajaan purbakala memang. Saat di mana raja adalah jenderal dan perwiranya adalah para bangsawan. Tentara Indonesia lahir dari kaum "proletar", kaum bawah yang tak berpunya.

Dari dasar yang rendah itu jualah tentara kita bukan sekedar prajurit, melainkan juga pejuang. Mereka yang berperang bukan demi uang, prestise, apalagi pangkat. Tapi landasannya adalah mempertahankan harga diri sebuah bangsa. Harga diri yang hanya kematian atau merdeka saja pilihannya.

TNI - bersama rakyat - berhasil dalam tugasnya. Namun, sudahkah cukup sampai di situ? Tidak. Tentara sudah merasa berjasa. Mereka membutuhkan pengakuan sekedar untuk menjaga apa yang telah mereka perjuangan tersebut. Bahkan, tidak sekedar menjaga melainkan pula ikut serta dalam pembangunan.

Di sinilah awal mulanya tentara memasuki ranah politik. Mereka "gatal" untuk tidak berada dalam pemerintahan yang sejatinya hanya milik partai dan kaum professional. Tidak boleh pasif, jangan juga terlalu aktif. Jalan tengahlah yang harus diambil. Akhirnya, konsep yang digagas oleh alm AH Nasution itu menjadi panduan dalam apa yang disebut Dwifungsi TNI.

Sejak diucapkannya konsep jalan tengah itu - pada tahun 1958 - hingga 40 tahun kemudian tentara tidak pernah melepaskan karakternya. Terjun ke dalam politik praktis sembari tentu saja sebagai alat pertahanan. Tapi, apakah yang dihasilkan dari konsep "moderat" itu? Tentara tak lain hanyalah alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Sebuah model ala fasisme.

Mungkin saja banyak yang suka dengan peran tersebut. Negeri ini tak pernah bergolak serius. Hanya ada riak-riak kecil yang segera dapat dibereskan. Keamanan terjamin. Ekonomi bisa tumbuh. Ketentraman dari komunisme yang dianggap anti-Tuhan juga tak ada.

Tapi tentu saja itu semu. Segala kekangan justru hanya menimbulkan dendam yang bisa jadi bom waktu. Tidak ada kebebasan. Di istananya,  sang penguasa menikmati kekayaan rakyat bersama kroni-kroninya. Bom waktu sudah disiapkan dan saat meledak tinggal menunggu waktu. Hanya diperlukan penyulut saja.

Akhirnya penyulut bernama ‘krisis ekonomi' itu datang. Rakyat baru berontak ketika perutnya tidak punya jaminan terisi. Sang penguasa tumbang. Tentara dikambinghitamkan. Ada yang salah dari peran yang telah diambil oleh tentara. Sebagai salah satu agenda reformasi, TNI dikembalikan ke tabiatnya sebagai alat pertahanan. Selamat tinggal politik praktis!

Hingga akhirnya tahun 2004 barulah bisa terealisasi. Selama 6 tahun ini, tidak ada lagi kehadiran prajurit berbaju hijau di senayan. TNI sudah kembali ke baraknya. Meski sang presiden kita sekarang adalah juga mantan tentara, itu hanya sekedar bukti kemampuan politik sang jenderal yang juga reformator TNI.

Sampai kapankah kita yakin TNI benar-benar bisa profesional dan tidak bakal mengulangi sejarah kelamnya? Pehatikan jejak pendapat Kompas kemarin. Hampir 50 % masyarakat suka mantan tentara sebagai presiden mereka! Gejala apa ini? Apakah memang ingatan rakyat kita begitu pendeknya dalam melihat masa lalu? Ataukah memang rakyat menghendaki rezim otoriter? Ataukah memang rakyat hanya menemukan ketegasan dalam diri mantan tentara? Toh buktinya presidennya sekarang tidak tegas juga dalam hal yang sangat prinsipil -kedaulatan - misalnya. Lantas, mungkinkah TNI besar kepala dengan fakta tersebut dan punya pembenar kelak untuk kembali ke masa lalu?

Semoga itu hanya kecenderungan masyarakat kita yang senang bernostalgia. Rindu pada presiden pemberani seperti Bung Karno yang coba dihadirkan kembali. Begitu pun pada presiden yang pernah lahirkan kesejahteraan sekaligus ketenteraman yang begitu terasa. Padahal kita ketahui, kedua presiden menggunakan tentara sebagai pelanggeng kekuasaan mereka.

Kini bagaimana kita melihat kiprah TNI? Sebagaimana Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman pernah bilang: "Satu-satunya hak milik republik yang tidak berubah hanyalah TNI." Konteks tersebut tidak hanya dalam revolusi kemerdekaan melainkan juga hingga masa mendatang. Menjadi katalisator bagi negeri ini meski entah seperti apa perubahan yang bakal lahir kelak. Semoga marwah itu terus dijaga. Dirgahayu TNI, jagalah demokrasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun