Ironisnya, mungkin hal demikian terjadi juga dalam skala yang lebih luas di negeri ini. Para pegawai, karyawan, menteri, anggota dewan, dan lainnya menggunakan dalih agama itu untuk lari dari tanggung jawabnya. Meninggalkan rutinitas kerjanya melebihi waktu yang diberikan. Berapa kerugian yang harus dibayar dari itu semua?
Mungkin hal itu masih lebih bagus. Mereka mangkir dari aturan. Tapi yang terjadi di kampusku bukanlah bentuk yang sama. Â Yang ini adalah pelegalan alias legitimasi akan tabiat buruk. Sama dengan ketakutan presiden yang dilegitimasikan dengan memo tak bertaji dan pidato lembek. Persis dengan legitimasi hedonis anggota DPR yang ditunjukkan dengan pembangunan gedung mewah yang katanya ada spa segala. Masih banyak yang tak perlu saya sebutkan.
Tepat kiranya jika kita sebut negeri ini dengan negeri tempat orang-orang jago mengesahkan tabiat buruk dirinya. Dan sayangnya, itu semua bentuk dari penghambat kemajuan alias pemeliharaan kekolotan yang sama di Turki 90 tahun lalu. Akankah muncul "kemalis-kemalis" di negeri ini yang mampu mendobrak dan membuat revolusi budaya nantinya? Entahlah. Yang pasti 7 hari lagi orang bakal berbondong-bondong mencari stempel untuk melegitimasikan permintaan maaf atas kesalahan yang kebanyakan sengaja dilakukan. Sayangnya, untuk yang satu ini, stempelnya hanya Tuhan yang punya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H