Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

SMI dan McNamara

6 Mei 2010   09:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:22 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_134746" align="alignleft" width="146" caption="Robert McNamara (wikipedia)"][/caption]

" Kamu tahu tidak kalau Sri Mulyani mengundurkan diri jadi Menkeu?" Tanya seorang teman di saat kuliah siang kemarin. "Kenapa?" Jawab saya. Sejenak dalam hati saya senang bahwa Sri Mulyani Indrawati akhirnya berjiwa besar dan mengundurkan diri akibat kasus Century. Bukan karena dia salah atau tidak, melainkan karena saya percaya seorang intelektual haruslah mundur ketika dia tidak dipercaya lagi oleh banyak orang. Tapi teman itu lantas melanjutkan, "Dia dipilih menjadi Direktur Bank Dunia." Waduh, guman saya.

Selesai kuliah saya buka kompas.com dan kompasiana. Benar, di kedua situs itu berita tentang Sri Mulyani menjadi perhatian besar. Lengkap dengan suara dukungan maupun sumbang atas keterpilihan yang mengejutan itu.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba saya teringat seorang tokoh yang bisa dikatakan agak mirip kisahnya dengan Sri Mulyani ini. Dia juga seperti Sri Mulyani yang kemudian menjadi petinggi Bank Dunia. Tapi yang lebih mirip adalah kisah layaknya "pelarian" suatu masalah besar yang mengakibatkan Ia dibenci orang banyak, tapi terlalu sayang untuk disingkirkan. Dialah Robert McNamara.

Saya pertama kali membaca kisah Robert McNamara di suatu majalah yang menceritakan perjalanan pilu Amerika akibat Perang Vietnam. Sebuah perang yang tidak pernah dideklarasikan, sebuah drama kemanusiaan yang seolah tidak pernah berhenti bertutur, dan-yang paling tragis-tidak pernah dimenangi oleh ratusan "rambo" yang begitu diagung-agungkan negeri Paman Sam. Tapi, besarnya harga yang teramat mahal itu adalah akibat seorang saja, Menteri Pertahanan Robert McNamara.

Jelas kita bisa bayangkan betapa bencinya publik Amerika kala itu kepada seorang McNamara. Perang Vietnam mengorbankan pemuda-pemuda terbaik Amerika dengan biaya perang yang miliaran dollar. Bandingkan saja dengan uang yang "tercuri" akibat Sri Mulyani yang "hanya" 6.7 Triliun tapi langsung meruntuhkan simpati banyak orang pada salah satu perempuan paling berpengaruh di dunia itu. Secara matematis bisa kita katakan kebencian pada McNamara ribuan kali dari yang diterima Sri Mulyani akibat kasus Century sekarang.

Tapi, McNamara yang lulusan Harvard ini terlalu sayang untuk langsung dipensiunkan dari aktivitas birokrasi. Ia yang dipilih oleh John F Kennedy dipertahankan kembali ketika Lyndon B. Johnson menjadi pengganti Kennedy pascawafat. Pada masa Presiden Johnson-lah mesiu Vietnam yang sudah lama ditabur meledak. Namun McNamara yang sudah jelas-jelas salah "dibuang" ke tempat yang sangat bertolak belakang dengan jabatannya sebelumnya. Dia sudah mengganti popor dengan dompet, menjadi Presiden Bank Dunia.

Pertanyaannya, banggakah McNamara atas tempat pelariannya? Saya ragu akan hal itu. Dia tidak sampai kena pengadilan perang-karena memang tidak pernah dibuat-dan karenanya pula tidak ada kesalahan secara hukum yang diperbuatnya. Tapi hilangnya jutaan nyawa manusia Vietnam yang tak berdosa jelas tidak bisa diukur oleh seperangkat "karya tulis" buatan manusia yang namanya hukum. Dia pasti salah secara moral kemanusiaan, dan rezim di mana dia ikut serta di dalamnya juga salah. Presidensial, kata orang. Presidenlah yang bertanggung jawab. Tapi tanggung jawab itu kita ketahui hanyalah dalam bentuk politik. Calon presiden Partai Demokrat kalah oleh Richard Nixon dari Partai Republik tahun 1969.

Sampai di sini kita mungkin segera maklum bahwa Bank Dunia adalah tempat yang tepat untuk kedua belah pihak-McNamara dan pemerintahan Johnson. Kalau McNamara langsung dihentikan kariernya itu sama saja dengan mengatakan pemerintah dan presiden salah yang sama artinya dengan mencoreng mukanya sendiri. Saya tidak hidup di zaman itu dan tidak tahu apakah perkiraan ini tepat atau tidak. Tapi, "sejarah berulang" terjadi di Indonesia, di mana saya bisa saksikan dengan kacamata sendiri dan bisa mewakili apa yang terjadi waktu itu.

Di sini si pesakitan adalah Sri Mulyani. Sebagaimana Johnson dulu, SBY tidak memecat Sri Mulyani sehingga tamat sudah kariernya yang cemerlang itu. Tentu kita bisa membaca sendiri itulah bukti bahwa SBY-yang ketika pilpres dulu sangat presidensial berubah-menjadi perlementaris. SBY tidak berani mengambil tanggung jawab itu, dengan bukti kesalahan oleh lembaga negara yang setara dengannya, DPR.

Kini apa lagi yang bisa kita harapkan? Sri sudah menjadi milik dunia dan tampaknya hukum Indonesia tidak bakal bisa menjangkaunya. Kasus Century bakal bernasib sama dengan Perang Vietnam yang tidak ada kejelasannya hingga kini. Sejarah sudah "memberi tahu" siapakah yang menjadi pecundang. Tapi kita tak tahu  mahkota ada di kepala siapa.

Itulah akibatnya jika semua berawal dari misteri dan berakhir misteri pula. Tapi, apakah bakal adakah "Richard Nixon" Indonesia yang  bisa mengalahkan Partai Demokrat-secara kebetulan partainya sama, Demokrat? Kalau memang bakal terjadi, lengkap sudah perulangan itu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun