[caption id="attachment_46155" align="alignleft" width="298" caption="Kediaman Frans Seda di Jalan Metro Kencana V, Pondok Indah, Jakarta Selatan, mulai dipenuhi tetangga dan kerabat yang datang untuk melayat, Kamis (31/12/2009). Frans meninggal pukul 05.00 pagi ini.-admin (KOMPAS.com)"][/caption] Saya semakin percaya dengan adagium l' histoire se repete, sejarah pasti berulang. Belum hilang perih di mata akibat kehilangan tokoh besar, Gus Dur, pagi tadi telah meyusul seorang tokoh besar lagi. Namanya Frans Seda yang dapat dibaca dibaca di sini.
Apanya yang berulang? Ketika satu tokoh besar pergi untuk selama-lamanya, maka beberapa saat kemudian tokoh yang tidak kurang besarnya bagi Republik ini juga meninggalkan kita. Saya teringat pada saat Pak Harto meninggal akhir Januari 2008 yang lalu, Â Yusuf Ronodipuro, tokoh pers, tokoh RRI ikut pergi. Begitu juga pada saat peringatan hari Kebangkitan Nasional yang ke-100 Mei 2008 lalu. Kurang dari beberapa jam Mantan Gubernur DKI Ali Sadikin pergi, menyusul kemudian tokoh wanita SK Trimurti.
Mengapa sang sejarah tidak punya "hati". Cukuplah dulu kesedihan hilang, mengapa harus bertambah lagi? Ah mungkin pertanyaan bodoh yang tidak bakal dapat jawaban! Jika berbicara Frans Seda, ada 2 hal yang saya ingat. Pertama, Partai Katolik dan kedua Mafia Berkeley. Dalam buku-buku tentang sejarah Indonesia sekitar tahun 60an, Frans Seda satu dari beberapa tokoh Partai Katolik yang dekat dengan Bung Karno dan menjabat menteri. Ketika itu, dia merupakan salah satu petinggi Partai Katolik. Khusus bagi kompas, dalam buku biografi PK Ojong yang pernah saya baca Frans Sedalah orang yang meminta izin langsung kepada Bung Karno untuk penerbitkan koran yang dinamai oleh Bung Karno" kompas" itu. Kedua, tentang Mafia Berkeley. Kita kenal kalau arsitek ekonomi orde baru adalah kelompok yang lazim disebut ‘mafia berkeley'. Tokoh pentingnya, Widjojo Nitisastro memang alumni Berkeley. Tapi, Pak Frans jelas tidak pernah menempuh pendidikan di sana. Gelar di depan namanya saja drs, mana mungkin universitas Amerika mengenal gelar itu? Cukup sedikit yang saya tahu dari beliau. Tapi, ketika peringatan G30S, beliau sering ditampilkan sebagai salah seorang saksi langsung di seputaran tahun 1965. Saya ingat serak-serak suaranya dengan logat Flores itu. Selamat jalan Pak Frans...Anda akan dikenang dalam sejarah Republik kita tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H