Saya tidak tahu persis kapan pertama kali mengklik pojok kiri laman kompas.com yang bertitel warna biru yang lantas saya sadari pernah mendengar namanya: kompasiana. Memori saya langsung tertuju pada buku biografi tokoh pers yang tidak asing lagi pada masanya, PK Ojong!
Di buku yang berjudul: Hidup Sederhana Berpikir Mulia itulah pertama kali saya mendengar kata “kompasiana” yang kalau tidak salah semacam tajuk rencana untuk menuangkan gagasan para pemimpin harian kompas, termasuk PK Ojong.
PK Ojong, wartawan sekaligus penulis sejarah perang dunia memang telah tiada 29 tahun yang lalu. Saya bahkan tidak pernah membaca tulisan kompasiana “asli” itu karena belum lahir. Apalagi, sejak pertama kali membaca harian kompas, rubrik itu sudah tidak ada. Tapi saya mencoba membayangkan seperti apa sosok PK Ojong itu mengingat saya tidak pernah berjumpa dengannya.
Paling tidak ada 2 hal yang paling saya suka dari seorang PK Ojong setelah membaca bukunya. Pertama : Keterbukaan dan kedua: kekonsistenan. Keterbukaan berkitan dengan caranya bergaul dan bersikap dengan orang lain. Menerima orang lain tanpa memandang perbedaan dan apa adanya.
Menjalin relasi tidak dengan memandang status orang itu apa, agamanya apa, atau perbedaan aliran politik barangkali. Seorang Tionghoa yang di benak kebanyakan kita tertutup dan eksklusif ternyata tidak berlaku bagi seorang bernama lengkap Petrus Kanisius Ojong ini.Mohammad Roem pemimpin Masyumi, Anak Gung Gde Agung, Mochtar Lubis dikirimi buku untuk mengisi hari – hari mereka ketika dipenjara. Saya pikir, keberanian seorang wartawan untuk mendekati tahanan politik kala itu sungguh luar biasa.
Pemerintahan Bung Karno yang sudah mengarah ke otoriterianisme seperti lazimnya tidak suka bila ada kelompok yang menentangnya baik secara terang – terangan maupun gerakan bawah tanah. Kebetulan, Koran Star Weekly yang saat itu dipimpin oleh PK Ojong menjadi wadah bagi pengkritik Bung Karno menuangkan pikiran mereka. Hasilnya?Surat pembredelan!
Kedua kepribadian itu, keterbukaan dan kekonsistenan kiranya bisa diresapi oleh setiap kompasianer. Keterbukaaan untuk menerima setiap perbedaan. Perbedaan itulah yang menjadi perekat dan memberi warna.Kita boleh berbeda menuangkan gagasan dalam postingan kompasiana apabila menyangkut suatu isu. Tapi, ada etika dimana penyampaiannya tidak menghakimi orang lain. Seolah – olah dialah yang paling benar, paling pintar dan paling berhak.
Perlu juga kiranya kekonsistenan menulis. Konsisten untuk tetap pada jalur kita, bukan hanya mengejar rating dan sensasi. Mawar tetaplah harum baunya walau disebut dengan bermacam nama, demikian Shakespeare dalam penggalan dramanya. Begitupun kita, para kompasianer. Untuk melihat siapa kita, tulisan itulah yang menyerbakkan harumnya. Harum yang mencerahkan , bukan yang menyengat.
Kompasiana, entah dengan pertimbangan apa nama itu dipilih oleh para admin, bukanlah baru “dibaptis” kemarin. Kompasiana sudah punya jati dirinya, 40 tahun yang lalu lewat seorang PK Ojong. Dia tidak perlu belajar untuk mengenal dirinya lagi. Yang harus dilakukannya sekarang mempertegas jati diri untuk kemudian mengejewantahkannya.
Marilah kita berandai – andai. Sekiranya PK Ojong sekarang masih hidup apakah dia mau kompasiana yang seperti sekarang? Dimana yang didalamnya bergabung ribuan orang untuk menuangkan gagasan dengan segala dinamikanya.
Saya yakin, dia pasti menerima kompasiana yang sekarang. Walaupun dia telah lama tiada, namanya akan terus hidup dan lestari melalui kompasiana. Terbuka dan konsisten. Itulah jati diri kompasiana dan kompasianers!
Happy Birthday Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H