"Ketika aku mencari Jiwaku, aku tidak melihatnya. Ketika Aku mencari Tuhan, Diapun menghindar. Ketika aku mencari saudaraku dan menemukannya, aku melihat ketiganya."( Mahatma Gandhi)
Apa kira - kira yang teladan yang dapat kita petik dari kutipan diatas bagi bangsa Indonesia? Gandhi memang orang India sekaligus pelopor kemerdekaan India dari tangan penjajah. Tapi, perjuangannya menginspirasi tidak hanya Bangsa India, namun hingga keseluruh dunia. Perjuangan Gandhi lintas bangsa, negara dan agama. "I'm nationalist, but my nationalism is humanity", begitu ia pernah sekali berkata.
Disini, saya tidak hendak membicarakan seorang Gandhi dan perjuangannya, melainkan bagaimana kita menyikapi keIndonesian kita di tengah berbagai cobaan dan rintangan. Ya, kita sedang menghadapi cobaan yang maha berat.
Masih segar dalam ingatan kita, hampir 5 tahun yang lalu saudara kita di Aceh dan Nias mengalami musibah maha dasyat. Kita kehilangan kurang lebih 120 ribu saudara kita yang kembali kepadaNya. Dan ratusan ribu lainnya mengalami trauma yang sulit untuk dipulihkan. Menyusul kemudian gempa Nias, Yogya, Pandalaran serta bencana alam lainnya.
Sekarang, peristiwa yang sama sedang menghampiri kita. Rabu, 2 september 2009, gempa sekali lagi menggoyang tanah air kita. Gempa berkekuatan 7,3 skala richter tersebut kembali memakan korban. Tidak kurang 50 korban jiwa melayang, puluhan masih hilang dan ratusan bahkan ribuan lainnya kehilangan harta benda dan sanak saudara.
Apa yang bisa kita lakukan? Tentu yang paling sederhana adalah berdoa kepada Yang Esa agar mereka yang ditinggal mendapat kekuatan untuk menghadapi musibah ini. Memang tidak mudah bagi sanak yang ditinggalkan untuk iklas menerima semua cobaan ini. Kehilangan harta memang tidak seberapa dibanding kehilangan saudara. Tapi, kita yakin dan percaya bahwa Tuhan tidak meninggalkan kita, melainkan sedang memberi kita hikmah kehidupan yang harus kita lalui dengan kesungguhan dan keiklasan. Bila kita memiliki sedikit materi, ada baiknya pula jika kita bisa menyumbangkannya kepada korban yang sedang berada di pengungsian. Bantuan tersebut dapat berupa uang maupun barang yang dapat disalurkan baik secara langsung maupun melalui lembaga - lembaga bantuan kemanusiaan.
Mungkin korban jiwa gempa Jawa tidaklah seberapa dibandingkan korban gempa Yogya tahun 2006 yang mencapai 6000 orang atau bahkan korban tsunami Aceh - Nias tahun 2004 yang mencapai ratusan ribu orang. Dalam dua musibah tersebut bangsa kita dapat bahu membahu bergotong royong mengulurkan bantuan termasuk menjadi relawan yang terjun langsung ke daerah bencana. Begitu pula bantuan asing yang mengalir deras.
Namun ada yang harus dicatat. Mereka yang menjadi korban adalah tetap saudara kita. Bukan korban yang banyak yang menyebabkan kita bersatu untuk membantu, melainkan siapa mereka yang sedang menderita. Dan selama mereka adalah manusia Indonesia yang sama - sama bagian dari Bangsa ini, merekalah saudara kita.
Momen sekarang memang tepat untuk menguji sejauh mana nasionalisme kita. Pencurian Malaysia atas kekayaan budaya kita saja dapat menyatukan kita. Apalagi penderitaan saudara - saudara kita yang real kita lihat di tanah air sendiri. Kita yang begitu antusias menggelorakan ganyang Malaysia ketika TKI kita di sana dipukuli, diperkosa dan disetrika sudah saatnya juga dengan semangat yang sama ‘mengganyang' penderitaan saudara kita di depan mata sendiri.
Sekarang kita tidak sedang membakar gelora api nasionalisme kita karena berperang membela kedaulatan NKRI, tapi kita sedang mengalami seperti istilah Gandhi, nasionalisme yang berkemanusiaan. Jika kemanusiaan Gandhi itu adalah universal tanpa mengenal batas territorial, kemanusiaan kita saat ini ada dalam territorial kita sendiri! Kita dapat menjadi humanis dan nasionalis sekaligus pada saat yang bersamaan.
Dimana kita mencari saudara kita? Tidak usah jauh - jauh. Mereka yang sedang menderita itulah saudara kita. Dan jika sudah kita temukan mereka, Tuhan dan Jiwa yang kita cari dapat terlihat pula. Semoga!