Pada akhir tahun lalu saya ke Jakarta naik kereta api ekonomi Matarmaja dari Malang. Seperti kita tahu, kursi penumpang kelas ekonomi berhadap-hadapan. Kebetulan di depan saya waktu itu duduk seorang pria paruh baya.
Timbul percakapan. Dia bertanya ke mana tujuan saya. Kebetulan waktu itu saya hendak ke suatu tempat yang berlokasi di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Karena saya malas menyebut tempat secara spesifik, maka saya jawab saja, "Menteng, Pak."
Sang bapak itu merespon: "Ke Menteng? Wah sampeyan kok nggak cocok ke sana." Maka dia bercerita mengenai temannya yang tinggal di kawasan tersebut beserta harga tanahnya yang mahal. Tentu saja saya heran karena Menteng itu luas, tidak hanya perumahan saja.
Mengapa dia berkata saya tak cocok ke Menteng? Alasannya ada pada penampilan. Waktu itu saya hanya memakai baju kaos yang saya beli 30 ribu di Ramayana. Tidak memakai sepatu melainkan sandal biasa.
Penampilan saya mungkin dilihatnya seperti orang kebanyakan. Dan orang seperti saya rasa-rasanya kurang pantas ke sana, punya saudara, apalagi tinggal di sana. Naik kereta ekonomi pula. Begitu mungkin yang ada di pikirannya.
Terus terang, saya tidak tahu, jika menggunakan cara berpikir sang bapak tersebut itu apakah Joko Widodo pantas juga tinggal di Menteng. Kita lihat di foto dan televisi, penampilan Gubernur Jakarta itu "seperti rakyat kebanyakan".
Dalam iklan dikatakan bahwa "Jokowi adalah kita", menandakan bahwa dia bukan bagian dari kelompok elit yang tinggal di kawasan elit pula. Pada masa kampanye, Jokowi juga mencitrakan diri sebagai sosok yang sederhana.
Dia makan di warung sederhana. Bajunya, sepatunya, dan celananya tak lebih dari 200 ribu. Saat deklarasi, dia juga naik sepeda---bukan kuda apalagi mobil mewah---ke Gedung Joeang 45 yang juga terletak di Menteng.
Menteng telah menjadi simbol kelas elit dalam masyarakat Jakarta dan Indonesia. Yang tinggal di sana pasti punya posisi dan uang. Jika seseorang merasa kaya dan mau dianggap, maka dia akan beli rumah di sana sebagai simbol status. Naiklah derajat yang bersangkutan.
Dalam kehidupan keagamaan begitu pula. Orang shalat di Masjid Cut Meutia berbeda rasanya dibandingkan dengan masjid di Manggarai. Gereja Batak, HKBP, punya sebuah gereja di Jalan Jambu, tempat orang Batak pejabat dan kaya beribadah, meski tempat tinggalnya bukan di kawasan tersebut.
Saya tidak tahu apakah Jokowi juga beranggapan demikian. Namun, sadar atau tidak, mantan Wali Kota Solo ini identik dengan Menteng. Apa saja?
Pertama, pada masa kampanya Pilgub Jakarta dua tahun lalu, markas pemenangannya berada di Jalan Borobudur.
Kedua, setelah dia menang, maka dia mendiami rumah dinas di Jalan Taman Suropati.
Ketiga, dalam masa kegubernurannya, dia sering bertandang ke rumah Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar yang berdekatan dengan rumah dinasnya. Ke sinilah konon dia sering berkunjung sebagai kader partai yang baik.
Keempat, pada masa kampanye Pilpres 2014, dia tinggal di Jalan Sawo karena mengambil cuti dari tugasnya.
Kelima, setelah dinyatakan menang dalam pilpres, dia membentuk tim transisi yang bermarkas di Jalan Situbondo.
Mungkin masih ada beberapa lainnya. Tapi saya kira dengan segitu saja sudah cukup menunjukkan identiknya pria alumni UGM itu dengan Menteng.
Kembali kepada bapak penumpang kereta tadi, mungkin ada semacam "missing link" antara kata sederhana yang melekat pada dirinya dengan simbolisasi elitisme Menteng tempat dia beraktivitas.
Tentu tidak ada yang salah dengan Menteng. Bung Karno, Soeharto, Megawati adalah presiden yang pernah tinggal di kawasan tersebut. Banyak lagi orang-orang besar, bapak bangsa, dan mantan pejabat yang bermukim di daerah tersebut.
Tapi setahu saya, para tokoh bangsa ini tampil dengan proporsi yang sebenarnya. Penampilan mereka elitis, mobil mereka terbaik di zamannya. Bahkan Mahatma Gandhi pernah menyindir penampilan Bung Hatta dan Syahrir ketika di Belanda yang terkesan mewah.
Namun tidak ada dramatisasi penampilan untuk menunjukkan keberpihakan mereka kepada rakyat kecil yang saat itu pasti lebih banyak ketimbang saat ini.
Emha Ainun Najib kalau tak salah dalam sebuah tulisannya pernah mengidentikkan orang berkuasa Indonesia dengan Menteng. Bahkan kata seniman nyeleneh ini, Gus Dur pun kecipratan "aura Menteng" karena semaca bocah tinggal di Matraman yang berbatasan dengan Menteng.
Tentu saja tidak seluruh presiden Indonesia dari sana. BJ Habibie dan SBY adalah contoh presiden yang tidak perlu tinggal di kawasan tersebut untuk memimpin negeri ini.
Jika penampilan sederhana Jokowi adalah alam bawah sadarnya, apakah dia merasa nyaman dengan Menteng? Untuk menyewa rumah di Jalan Sawo saja pasti menghabiskan uang puluhan hingga ratusan juta.
Namun Jokowi beruntung. Di balik penampilannya yang sederhana, tidak ada yang mengungkit identiknya dia dengan Menteng. Bahkan saya sendiri pun sebenarnya tidak. Hanya, kadang masih teringat saja dengan perkataan bapak-bapak di atas kereta:
"Sampeyan kok nggak cocok ke sana."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H