Jujur, saya adalah pengagum Susilo Bambang Yudhoyono. Asal muasal kekaguman saya padanya mungkin terkesan sepele: karena tahi lalat. Seperti dirinya, saya juga punya tahi lalat di dahi kanan.
Waktu kecil, orang tua saya bilang bahwa pembawaan orang yang punya tahi lalat di dahi kanan adalah keras kepala. Tetapi, kata-kata itu terbantahkan dengan sosok SBY yang tidak kelihatannya tidak menunjukkan sedikitpun watak seorang yang "berkepala batu".
Saya tahu SBY sewaktu dia menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pada 2001-2004. Dia kerap bersinggungan dengan Aceh, sebagai penanggung jawab operasi militer di Tanah Rencong yang diberlakukan sejak Mei 2003.
Di tengah serangkaian tugasnya, rupanya dia punya masalah dengan Presiden Megawati Soekarnoputri. Saya yang masih duduk di kelas tiga SMP bersimpati kepadanya karena diacuhkan presiden plus dikatai jenderal cengeng oleh suami presiden.
Dia mundur dari kabinet menjelang Pemilu Legislatif 2004 seiring makin meningkatnya popularitasnya. SBY tampil di iklan televisi, berpidato di depan hamparan sawah, berkampanye buat Partai Demokrat. Partainya itu akhirnya meraup 7 persen suara lebih yang cukup buat tiket berlaga di Pilpres 2004.
SBY tampil sebagai sosok calon presiden sempurna. Lulusan terbaik Akademi ABRI, komandan pasukan PBB, karir militer paling moncer, arsitek reformasi ABRI, jago nyanyi dan main gitar, dan ditopang fisik yang berwibawa.
SBY yang menggandeng Jusuf Kalla (JK) unggul di putaran pertama dengan raihan 33 persen, disusul Megawati-Hasyim. Kedua pasangan inilah yang akan tampil pada putaran kedua, 20 September 2004. Pada putaran kedua ini, saya sudah masuk bangku SMA. Sama seperti saya, teman sebaya juga kagum pada sosoknya meski kami tidak bisa memilih karena belum cukup umur. "Dia pintar pidato tanpa teks dan jago bahasa Inggris," kata seorang teman.
Sejarah kemudian mencatat SBY-JK menjadi presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Buah reformasi 1998 yang mengakhiri era diktator ketika pemimpin tertinggi ditentukan oleh segelintir orang di Senayan.
20 Oktober 2004, SBY dilantik sebagai presiden. Kita dikenalkan istilah baru: program kerja 100 hari. Namun, belum genap hari yang keseratus, dia harus menghadapi masalah besar: tsunami Aceh 26 Desember 2004.
Musibah terbesar abad 21 itu menelan korban 150 ribu lebih. Ratusan ribu rumah dan bangunan porak-poranda menghancurkan sendi-sendi kehidupan orang Aceh yang sudah berkonflik selama 30 tahun. Sebagian orang dengan nada tahayul bahkan menyebut bencana itu pertanda bahwa SBY tidak diterima alam.
Cobaan luar biasa bagi presiden baru, tetapi juga menjadi berkah. Pada 15 Agustus 2005, pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik. Kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias pun bisa lancar dengan anggaran mencapai puluhan triliun rupiah.