Mohon tunggu...
Samlibry Adhitia
Samlibry Adhitia Mohon Tunggu... Security - Pribadi

Menikmati perjalanan hidup dengan bersyukur, sesuai dengan apa yang diajarkan baginda Nabi Muhammad saw. Semoga dipanjangkan umur kita untuk hal-hal yang membawa manfaat bagi kebaikan diri, keluarga dan ummat manusia di Indonesia khususnya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bahaya Memperlakukan Layanan Publik seperti Bisnis

16 November 2020   19:10 Diperbarui: 17 November 2020   08:19 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Pada bulan Januari tahun 2010 yang saya ingat, teman saya waktu itu bercerita bahwa saat ia mulai bekerja di sektor publik, dia menemukan beberapa pola operasi dan perilaku aneh yang sulit ia pahami. Dia tidak mengerti bagaimana kita bisa mendapatkan celah antara implementasi dan maksud awal yang sebenarnya. 

Mengapa orang memilih untuk tidak berbagi atau bekerja sama? Mengapa tim hanya menyerahkan proyek yang belum selesai kepada satu sama lain, atau memilih kemenangan singkat yang menciptakan kerugian panjang yang dapat diprediksi (dan apalagi dapat dibuktikan), sehingga menambah "hutang" teknis, administratif dan budaya dari lembaga dan pemerintah?

Akhirnya saya membantunya mencari jawaban dengan menempatkan diri saya selayaknya menjadi ASN dan, setelah 10 tahun menguji hipotesis yang berbeda, saya yakin bahwa banyak tantangan saat ini di sektor publik terkait dengan dua faktor penyebab:

  1. Dampak dari meningkatnya reaktivisme terhadap politik dan pengawasan media dalam 24 jam, di sektor publik (yang bervariasi antar yurisdiksi); dan
  2. Konsekuensi yang tidak diinginkan dari New Public Management/Manajemen Publik Baru (NPM/MPB) dan mencoba membuat sektor publik bertindak seperti layaknya sektor swasta.

Perlu disebutkan secara singkat bahwa NPM/MPB (sami mawon) diperkenalkan di tengah ketidakpastian global dalam upaya membuat sektor publik lebih efisien, agar terlihat lebih responsif terhadap pemerintah terpilih, dan lebih terlibat dengan sektor lain. 

Tulisan ini inginnya membahas beberapa konsekuensi praktis dan tidak diinginkan dari penerapan prinsip-prinsip Manajemen Publik Baru oleh sektor publik tersebut. 

Tulisan ini inginnya mengeksplorasi apa yang dapat kita lakukan tentang mereka untuk memastikan bahwa program, layanan, kebijakan dan undang-undang kita melayani kepentingan publik terbaik (baca: hajat hidup orang banyak) dan disampaikan dengan cara yang selaras dengan tujuan dan peran sektor publik kita.

Siklus politik / pemilu (baik pemilu Presiden/Kepala Daerah) relatif sangat pendek dan insentif pada politisi adalah untuk fokus pada apa yang mereka anggap mendesak (meskipun sudah ada agenda prolegnas), sedangkan layanan publik memiliki kewajiban untuk menjaga dalam jangka panjang. 

Ada ketegangan di model ini (dan sepertinya ketegangan yang direncanakan), menurut saya, selama 20 tahun terakhir ini cenderung mengarah pada layanan publik yang diberikan dalam agenda politik jangka pendek dengan mengorbankan investasi dalam fondasi untuk jangka panjangnya sendiri.

Mengapa Manajemen Publik Baru lebih menjadi masalah pada saat sekarang daripada di masa lalu? Saya berpendapat bahwa itu karena, di dalam jumlah 4,3 juta ASN, kita sekarang memiliki beberapa generasi ASN baru (fresh graduate) yang datang ke wilayah layanan publik tanpa mempunyai "memori institusional" apa pun sebelum era 'pemerintah sebagai bisnis'.

Saat ini, coba pembaca cermati, bahwa memperlakukan layanan publik seperti bisnis telah menjadi norma, dengan struktur, bahasa, praktik, dan insentif yang diwarisi dari manajerialisme sektor swasta, dan ini terjadi juga di Indonesia meski secara perlahan. 

Sepengetahuan kami bahwa warga negara tidak mengharapkan sepenuhnya sektor publik untuk bertindak dengan cara yang sama -hal ini terbukti, baik dalam umpan balik (maksud saya feedback yang konstruktif lho), dalam diskusi, dalam penelitian pengguna, dan dalam banyak sekali keterlibatan publik- namun ketika kami mengadopsi pola pikir bisnis, kami menciptakan tekanan untuk bertindak lebih seperti bisnis. Dalam segala hal yang kami lakukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun