Serial televisi "Game of Thrones" menawarkan suatu lensa yang sangat relevan untuk menelusuri dinamika kekuasaan, pengkhianatan, moralitas, dan keadilan---tema-tema yang sangat dekat dengan realitas politik dan hukum Indonesia saat ini. "Game of Thrones" adalah lebih dari sekadar hiburan; ia adalah sebuah refleksi dari intrik politik dan perjuangan kekuasaan yang menggambarkan berbagai bentuk konflik yang juga kita saksikan di dunia nyata. Serial ini menyoroti bagaimana ambisi pribadi, loyalitas, dan manipulasi dapat membentuk sejarah dan nasib bangsa, sebuah narasi yang tidak asing dalam lanskap politik Indonesia.
Relevansi "Game of Thrones" terhadap kondisi Indonesia hari ini sangat mencolok. Kita bisa melihat paralel dalam berbagai aspek, mulai dari politik dinasti, korupsi, hingga ketidakadilan hukum. Serial ini mengajarkan kita tentang bahaya kekuasaan absolut dan pentingnya check and balances dalam sistem pemerintahan. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara dan maraknya korupsi, kita diingatkan akan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan reformasi sistemik.
Melalui analisis ini, kita akan mengupas bagaimana elemen-elemen dalam "Game of Thrones" mencerminkan realitas politik dan hukum Indonesia. Dari perebutan takhta yang tanpa henti hingga konspirasi yang meruntuhkan kerajaan, semua ini menggambarkan tantangan yang kita hadapi dalam membangun negara yang adil dan demokratis. Dengan memahami dinamika tersebut, kita dapat belajar untuk lebih kritis dan bijak dalam menavigasi tantangan-tantangan yang ada di depan kita.
Westeros mencerminkan ketidakadilan sosial yang mendalam, di mana kasta sosial menentukan nasib seseorang. Bangsawan hidup dalam kemewahan sementara rakyat jelata berjuang untuk bertahan hidup. Ini mencerminkan banyak masyarakat feodal dan pra-modern di mana mobilitas sosial sangat terbatas dan ketidakadilan merajalela.
Karakter seperti Tyrion Lannister yang berjuang melawan prasangka sosial atau Jon Snow yang harus membuktikan dirinya, meskipun statusnya sebagai anak haram adalah refleksi dari perjuangan melawan ketidakadilan yang dihadapi oleh banyak individu dalam sejarah.Â
Ketidakadilan sosial ini sering kali diperparah oleh perang, yang dalam "Game of Thrones" digambarkan dengan brutalitas yang nyata. Perang Lima Raja menghancurkan. Westeros, mengakibatkan kematian dan penderitaan yang tak terbayangkan, mirip dengan dampak perang-perang besar dalam sejarah manusia seperti Perang Dunia I dan II.
Pendekatan realisme dalam "Game of Thrones" adalah salah satu aspek yang membuatnya begitu menarik dan relevan. Tidak ada karakter yang benar-benar baik atau jahat, dan setiap tindakan memiliki konsekuensi yang rumit. Ini adalah refleksi dari realitas kehidupan manusia, di mana moralitas sering kali abu-abu dan pilihan-pilihan sulit harus diambil. Sejarah penuh dengan tokoh-tokoh yang memiliki kompleksitas serupa, seperti Julius Caesar, yang dipandang sebagai pahlawan dan penjahat tergantung pada perspektif sejarah yang diambil.
Kita melihat bahwa fenomena serupa terjadi dalam dinamika politik dan hukum di Indonesia, contoh kasus yang hari ini terjadi yaitu menjadikan lembaga peradilan untuk ditunggangi oleh kekuasaan, sebagai contoh: perkara No. 90/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi, Â dikalangan para akademisi dan aktivis menganggap bahwa putusan ini sangat bermasalah, karena mengalami cacat hukum dan putusan ini juga menguntungkan salah satu pihak antaranya adalah anak dari Presiden (Joko Widodo).Â
Sehingga hal tersebut jelas bagaimana kekuasaan mampu mengintervensi lembaga peradilan dan berbagai kasus lainnya menunjukkan bagaimana kekuasaan sering kali disalahgunakan untuk keuntungan pribadi dan kelompok. Hukum yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat malah dimanipulasi untuk melindungi kepentingan mereka yang berkuasa. Hal ini mengingatkan kita pada bagaimana keluarga Lannister menggunakan hukum untuk mempertahankan kekuasaan mereka di Westeros.
Fenomena tersebut sejalan dengan pernyataan menurut Prof. Mahfud MD, "Ketika hukum dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan, maka fungsi hukum sebagai penjaga keadilan dan penegak hak asasi manusia akan hilang." Pendapat ini menggema dalam konteks politik Indonesia, di mana kita sering melihat intervensi kekuasaan dalam proses hukum.
Sementara itu, menurut ahli politik, Prof. Corn elis Lay, menambahkan bahwa "Dalam politik, kekuasaan adalah tujuan utama, dan semua alat, termasuk hukum, dapat digunakan untuk mencapainya." Perspektif ini sangat relevan dalam memahami bagaimana aktor-aktor politik di Indonesia sering kali memanipulasi hukum demi mempertahankan dan memperluas kekuasaan mereka.