Mohon tunggu...
Saman Al Hakim
Saman Al Hakim Mohon Tunggu... -

Hanya seorang karyawan biasa, asli betawi, tinggal di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Salah Mengutip Data, Potensi Kebohongan Publik Bisa Mengemuka

19 September 2012   08:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:14 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya termasuk orang yang sangat antusias mengikuti dari waktu ke waktu perkembangan Pilkada Putaran Kedua Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta.  Termasuk ketika menyaksikan Debat Kandidat di Metro TV akhir pekan silam. Acara itu berlangsung seru dan membuka mata kita semua para pemirsa yang menyaksikan tentang sosok calon pemimpin Jakarta yang didambakan.  Seusai acara tersebut, ternyata berbagai kontraversi datang. Terutama karena pasangan Joko Widodo  (Jokowi) - Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dinilai banyak melakukan kesalahan mengutip data. Seperti diungkap dari link ini:

Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Fadjar Panjaitan, mengatakan calon wakil gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak paham sistem jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) DKI Jakarta. Fadjar menilai Ahok salah memaparkan sistem Jamkesda DKI yang dianggap melanggar UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pernyataan Ahok dipaparkan dalam acara debat di salah satu stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. "Mungkin Ahok masih berpikir definisi pemerintah dalam UU adalah pemerintah pusat. Padahal Mahkamah Konstitusi pada tahun 2005 sudah memutuskan bahwa yang dimaksud pemerintah dalam UU adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah," kata Fadjar. Ia menjelaskan Pemprov DKI telah menyelenggarakan Jamkesda sejak tahun 2000 dan diperkuat dengan Perda pada tahun 2009, sehingga tidak mungkin Perda melanggar UU. Sejak 2007 hingga 2011, sudah ada 2,7 juta penduduk yang menikmati Jamkesda ini. Tak hanya itu, paparan Ahok soal data puskesmas di Jakarta, baru ada empat puskesmas yang baru bisa melayani rawat inap, dibantah Kepala Dinas Kesehatan DKI Dien Emmawati. Dien mengungkapkan saat ini ada 340 puskesmas di Jakarta. Dan dari jumlah tersebut, 12 puskemas kecamatan sudah bisa melayani rawat inap. "Saat ini ada 340 puskesmas di Jakarta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 puskemas kecamatan sudah bisa melayani rawat inap, jadi enggak benar kalau dia (Ahok) cuma bilang ada empat puskesmas," tegas Dien.

Sementara itu Fadjar juga mengungkap fakta lainnya terkait pembenahan pemukiman kumuh di bantaran Kali Ciliwung di Bukit Diri Tebet Jakarta Selatan  (dikutip dari link ini):

"Tidak mungkin membangun pemukiman di trase kali Ciliwung di Bukit Duri, sebab trace Ciliwung di dalam kota adalah 35 meter (badan air) + 15 trace, itu adalah tanah negara (pemerintah pusat), kalau diubah jadi pemukiman, itu diancam pidana," ujarnya di ruang kerjanya, Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Senin (17/9/2012). Fadjar menjelaskan, jika memindahkan pemukiman kumuh 10-15 meter diluar trace kering atau bantaran kali, adalah tanah milik masyarakat. Dengan demikian memerlukan dana pembebasan tanah yang tidak sedikit. "Tidak ada tanah Pemprov di kawasan pinggiran kali itu, kalau bilang bisa dibangun dengan dana Rp 24 miliar, itu hanya pembangunannya, tidak termasuk pembebasan lahan," katanya. Menurutnya tanah pemerintah tidak mungkin diserahkan sertifikatnya ke masyarakat dengan sistem hibah atau pemberian, karena tidak ada dasar hukumnya. Selain itu, lanjut Fadjar, ketika Ahok mengatakan sistem Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) DKI melanggar Undang-undang (UU) 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), ia juga salah. "Sebagai mantan anggota DPR, mungkin dia (Ahok) masih mengambil definisi Pemerintah dalam UU adalah pemerintah pusat RI, padahal Mahkamah Konstitusi pada 2005 sudah memutuskan bahwa yang dimaksud ’pemerintah’ dalam UU adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah," tegasnya. Ia mengatakan, Pemprov DKI juga sudah menyelenggarakan Jamkesda sejak 2000, dan diperkuat Perda pada 2009, sehingga tidak mungkin Perda melanggar UU. Sejak 2007 hingga 2011, lanjutnya, sudah ada 2,7 juta penduduk yang menikmati Jamkesda ini. Pada 2011, Pemprov DKI juga membentuk Unit Pengelola Teknis (UPT) Jamkesda di bawah Dinas Kesehatan DKI. "Bagi lansia yang KTPnya sudah berlaku seumur hidup, otomatis kartunya itu bisa berfungsi sebagai kartu Jamkesda, pasti dilayani," ucapnya. [caption id="attachment_199724" align="aligncenter" width="600" caption="Cawagub DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), sumber : inilah.com"][/caption] Selain itu, Ahok juga salah mengenai data Puskesmas di DKI, ketika ia mengatakan baru empat Puskesmas yang ada layanan rawat inap. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dien Emmawati mengatakan, ada 340 Puskesmas di DKI Jakarta, yang terdiri dari 44 Puskesmas Kecamatan dan 296 Puskesmas Kelurahan. "Saat ini sudah 12 Puskesmas Kecamatan yang melayani rawat inap. Kalau Puskesmas Kelurahan, secara teknis tidak memungkinkan," ujarnya lagi. Ahok juga salah mengenai adanya 94 Fakultas kedokteran di DKI, padahal hanya ada 10 fakultas kedokteran. Saat berdebat di bidang transportasi, Jokowi juga dinilai banyak salah pengertian. Fadjar menambahkan, Jokowi yang menyebutkan Otoritas Transportasi Jabotabek (OTJ) hanya membutuhkan komunikasi dan koordinasi juga kurang tepat. Pasalnya, OTJ merupakan kewenangan pemerintah pusat, bukan Pemprov DKI. Serta dalam pengawasan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). "OTJ tidak hanya mengatur sistem teknis transportasi namun juga komitmen penyediaan dana untuk pembangunan sarana prasarana yang tidak mungkin didanai pemerintah daerah sendiri," tegasnya. Selain itu, Pemprov DKI juga sudah memulai menjalankan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) dengan Bekasi dan Tangerang, sebagai langkah non formal dari OTJ. Kesalahan data Jokowi juga adalah mengenai Transjakarta, sebab pada era Sutiyoso, hanya dibangun 7 Koridor sepanjang 97,3 Kilometer. Sedangkan pada era Fauzi Bowo sudah dibangun empat koridor yakni Koridor VIII (Lebakbulus-Harmoni), IX (Pinangranti-Pluit), X (Cililitan-Tanjungpriok), dan XI (Kampungmelayu-Pulogebang). "Empat koridor sejak 2007-2011 menambah 86,3 kilometer, dan pada akhir tahun ini koridor XII (Pluit-Tanjungpriok) akan beroperasi, jadi menambah 20 Kilometer," jelasnya. Manajemen Transjakarta, kata dia, juga sudah diubah beberapa kali menjadi lebih baik. Pada 2006, Transjakarta sudah menjadi Unit Pengelola Teknis (UPT) Transjakarta, dan pada 2010 menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). "Kita juga sudah masukkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Transjakarta, saat ini masih dibahas di DPRD, jika sudah disahkan, Transjakarta akan menjadi PT, jadi bukan manajemen warung tegal seperti yang dikatakan Cawagub itu," ujarnya. Mengenai Mass Rapid Transit (MRT), Fadjar menjelaskan, Pemprov DKI membutuhkan pendanaan yang besar dari Japan International Corporation Agency (JICA). Sehingga membutuhkan waktu yang tidak sedikit. "Selasa (18/9) akan diumumkan urutan pemenang tender proyek MRT, di lapangan, kawasan Jalan Fatmawati juga sudah dilebarkan, membangun MRT itu bukan kerja sembarangan," tegasnya.

Sementara itu anggota DPD DKI Jakarta Pardi, Selasa (11/9) juga mengemukakan hal serupa. Seperti dikutip dari link ini

“Pemahaman Jokowi tentang Jakarta masih lemah. Ia begitu seringnya melakukan kesalahan dalam mengungkapkan data dan fakta,” ujarnya.
Sebagai salah satu anggota DPD yang mewakili masyarakat Jakarta, dirinya menyayangkan dengan cara-cara berkampanye asal ucap atau asal janji. “Jangan karena ingin mencitrakan, lantas berupaya mendeskreditkan lawan dengan memberikan dan mengarahkan pemahaman yang keliru kepada masyarakat. Itu cara yang tidak benar,” tegasnya. Dengan pemahaman yang lemah, ia semakin tidak yakin jika Jokowi-Ahok bisa membuat Jakarta lebih baik. Semboyan perubahan yang diusung oleh pasangan ini, lanjut Pardi, lebih hanya untuk pemanis dalam kampanye. “Saya melihat, dalam kampanye dan berbagai pernyataan Jokowi-Ahok hanya untuk mencari popularitas,” katanya. Seperti diketahui, beberapa pernyataan Jokowi tentang Jakarta sering dianggap salah. Sebagai contoh saat Jokowi mengungkapkan jumlah angka kemiskinan di Jakarta yang mencapai 20 persen. Padahal menurut BPS angka kemiskinan di Jakarta hanya 3,8 persen. Begitu juga saat penyampaian visi, misi dan program pasangan Cagub dan Cawagub di DPRD DKI Jakarta saat putaran pertama lalu. Saat itu Jokowi menyatakan Pemprov DKI sama sekali tidak terlibat dalam proyek Banjir Kanal Timur (KBT). Pernyataan ini langsung dibantah oleh Pemprov DKI, karena 60% dari dana pembangunan KBT berasal dari APBD Jakarta. Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Achmad Husein Alaydrus juga menilai Jokowi tidak mempunyai kapasitas mumpuni untuik memimpin Jakarta yang heterogen. “Jakarta beda dengan Solo yang cuma berpenduduk 500 ribu jiwa,” ujarnya. Alaydrus menambahkan tidak ada program baru yang ditawarkan Jokowi. ” Contohnya kartu pintar yang ditawarkan Jokowi tidak ada gunanya, karena sejak tahun ini Pemprov DKI telah menggratiskan pendidikan mulai dari tingkat SD sampai SMA,” paparnya

Simak pula pernyataan Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyayangkan banyaknya data salah yang digunakan oleh pasangan Cagub DKI Jakarta Jokowi-Ahok, dalam debat kandidat Cagub, pada hari Minggu (16/9/2012) malam lalu (sumber link).

"Kalau berbicara data itu ya harus akurat, sinkron dan valid. Jadi harus dengan data yang dipercaya serta akurat, tidak boleh demi kepentingan sesaat tapi memanipulasi data, itu pembohongan publik," kata Zuhro di  Jakarta, Selasa, (18/9/2012). Ia menjelaskan seorang calon pemimpin terlebih saat berada dalam ajang debat kandidat yang resmi, jika menyampaikan data perlu hati-hati dan memiliki sumber yang jelas dan akurat. "Kalau data yang disampaikan tidak akurat itu apa namanya kalau bukan pembohongan publik, jadi harus hati-hati kalau berbicara data statistik. Itu harus merujuk dari sumbernya seperti BPS, atau data-data yang terkait. Itu harus jelas referensinya jangan asal jiplak aja," ujarnya. Menurutnya, lanjut Zuhro, jangan sampai ada penyimpangan data demi kepentingan sesaat atau target sementara demi kekuasaan. "Jadi kalau mau menang itu harus dengan cara satria dong, karena memang pemimpin itu harus berjiwa ksatria," tegasnya. Sebagaimana diketahui, Basuki T Purnama atau Ahok telah menyebutkan bahwa Puskesmas di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ada sekitar 340, namun sampai saat ini baru ada 4 puskesmas yang memiliki ruang rawat inap. Akan tetapi, pernyataan Ahok langsung dibantah bahwa puskesmas ada 12 yang memiliki ruang rawat inap. Ahok juga salah saat menyebutkan jumlah Fakultas Kedokteran yang ada di Indonesia

Saya sangat sependapat dengan apa yang disampaikan diatas, bagaimanapun penguasaan data yang valid dan akurat sangat dibutuhkan dalam debat terbuka yang disaksikan publik seperti ini. Jika data yang dipaparkan tidak sesuai, maka potensi kebohongan publik bisa dituduhkan karena tentu saja dengan uraian data yang keliru akan timbul persepsi yang berbeda dari masyarakat. Seyogyanya data-data yang akurat sudah menjadi pegangan utama untuk menguatkan argumentasi yang dilontarkan. Sebagai calon pemimpin yang kelak jadi teladan masyarakat, tentu hal seperti keakuratan dan kejujuran mengungkap fakta sangat diharapkan.  Marilah menjadi pemilih yang cerdas dan bijak..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun