Jalan pikiran ini ada benarnya, ketika kita mengingat bahwa pengetahuan “Tuhan itu murah hati” (misalnya) berasal dari pengalaman saya yang mengalami dalam cara yang khas bahwa Tuhan adalah demikian. Kemurahan hati Tuhan tidak bisa diberitahukan, tidak dapat sekedar sebagai sebuah informasi, melainkan harus menjadi sebuah pengalaman.
Sejak Yohanes Paulus II Gereja Katolik didesak untuk memanfaatkan sebaik mungkin kemajuan teknologi komunikasi yang secara hebat merambah hidup manusia. Baru-baru ini Paus Benediktus XVI juga mengobarkan semangat yang sama untuk memanfaatkan sarana teknologi komunikasi untuk katekese dan aneka tugas pewartaan. Tak ayal lagi, Facebook dan Twitter adalah web-web yang paling sering dibuka. Tidak hanya kaum muda (dari sendirinya), melainkan juga religius, imam, dan para uskup. Asal diperhatikan, komunikasi virtual lewat media internet jangan sampai meniadakan relasi personal, pelayanan kehadiran, sapaan konkret, dan realisasi pembaharuan paguyuban secara nyata dalam hidup sehari-hari. Artinya, ranah iman adalah ranah pengalaman keseharian.
1.1.Relativisme Etika
Relativisme protagorasian paling terkenal dalam ranah etika. Relativisme etis berarti segala apa yang kita maksudkan nilai baik selalu memiliki rujukan. Baik itu relatif, berkaitan dengan referensi dan relasinya dengan sudut pandang konteksnya.
Baru-baru ini saya melakukan perjalanan tugas bersama para rektor APTISI (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta) ke Cina. Di dalam bus yang nyaman, guide yang ramah selalu menemani kami dengan banyak informasi tentang negeri Cina yang mengalami kemajuan pesat. Dari banyak kemajuan, pemandu wisata bercerita juga tentang ledakan penduduk dan kesulitan serius yang dihadapi Cina. Ia berkata demikian:
“Di sini keluarga dibatasi untuk punya anak hanya satu. Pembatasannya secara konkret direalisasikan dalam hukum yang tegas. Maka, jika di Hongkong aborsi diancam sanksi hukum, di sini banyak orang kalau tidak melakukan aborsi, setelah anak pertama lahir, justru akan dikenai sanksi hukuman tidak ringan.”
Kisah tentang aborsi ini menarik untuk disimak. Jelas bahwa aborsi sebagai tindakan mematikan manusia (janin) merupakan tindakan yang melanggar moral. Tetapi, dalam ranah konteks Cina, aborsi nampak mengalami pergeseran penilaian moral. Sekurang-kurangnya itu yang saya dengar dari guide kami. Uniknya, ketika saya bertanya kepada rekan-rekan rektor, halnya seperti tidak menjadi isu penting untuk dibahas dan diprihatini.
Relativisme etis memiliki banyak sebutan dan nama, seperti etika kontekstual, etika utilitarian, dan sejenisnya. Etika kontekstual berarti nilai baik buruk dipondasikan pada rujukan konteksnya. Dalam konteks Keluarga Berencana karena suatu problem ledakan penduduk yang hebat, seakan-akan aborsi dipandang sebagai sebuah pemecahan baik.
Sedangkan etika utilitarian merujuk kepada statement Machiavelli bahwa apabila seorang penguasa perlu melakukan sebuah tindakan keburukan untuk kebaikan yang lebih besar, hendaknya tidak perlu merasa bersalah. Konteks pemikiran Machiavelli adalah sebuah tujuan yang baik dapat diraih dengan cara apa pun, termasuk cara-cara yang buruk.
Greatest happiness for greater number adalah konsep etika utilitarian. Persoalannya, jika kesejahteraan dimaksudkan untuk kelompok masyarakat yang lebih besar, bagaimana dengan kelompok minoritas. Jika kebenaran direduksi pada kepentingan umum yang lebih besar, kepentingan kelompok minoritas dari sendirinya dapat dengan mudah ditindas.
Bentuk dari nilai baik, menurut filosof Epicuros (341-270 SM), mewujud dalam pleasure, kenikmatan. Maksudnya, kenikmatan yang mengalir dari makan dan minum. “The root of all good is the pleasure that comes from eating and drinking”. Gagasan “kenikmatan” dalam Epicurianisme memaksudkan arti yang sangat mendalam. Kenikmatan memang menjadi sangat jelas dan konkret dalam aktivitas makan dan minum. Tetapi, ide kenikmatan menyentuh pada soal bahwa aktivitas kehidupan manusia haruslah terarah kepada segala apa yang berkaitan untuk menghindari kesengsaraan, penderitaan, kecemasan, dan seterusnya. Para epicurian adalah para pemuja kehidupan, lebih dari sekedar penyanjung kenikmatan atau kepuasan fisik yang rendah.