Kepintaran banyak membuat orang kagum. Selain kekayaan, hal yang menjadi kebanggaan lainnya adalah kepintaran. Maka banyaklah orang tua yang saling berlomba memasang status di media sosial tentang prestasi anak-anaknya baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Parameter keberhasilan yang tidak memperhatikan bagaimana efeknya bagi psikologis si anak. Apalagi, biasanya anak-anak berprestasi cenderung sombong dan meremehkan orang lain. Hasilnya, bangsa ini banyak menghasilkan remaja berprestasi namun minim attitude.
Namun tidak sedikit remaja yang mampu bersikap mandiri tanpa ikut-iktan apa yang sedang tren saat ini. Ketika bicara dengan keponakan saya, dia termasuk yang tidak suka dengan @awkarin. Menurutnya, @awkarin hanyalah wanita “bodoh” yang mau mengorbankan masa depannya demi lelaki yang belum pasti untuknya.
Haus Eksistensi Diri
Remaja memiliki rasa ingin diakui keberadaannya maupun eksistensinya. Berbagai cara ditempuhnya. Mulai dari membuat status keberadaan atau kegalauan di media sosial (bbm chat, facebook, dan twitter) agar mendapat komentar orang. Dengan mendapat komentar, mereka merasa diperhatikan.
Ketika sudah ada yang memperhatikan mereka, mereka pun akan merasakan kenyamanan. Setelah merasa nyaman, mereka mau melakukan apapun asal kenyamanan itu tetap ada. Bahkan mengorbankan keperawanan dan keperjakaan pun bukan menjadi masalah bagi mereka selama kenyamanan itu masih mereka dapatkan. Sungguh dampak luar biasa yang sangat tidak disangka para orang tua.
Hingga berkontroversi di media sosial pun rela dilakukan demi bisa mengekspresikan keresahan dirinya. Kontroversi menjadi hal yang keren karena menunjukkan keberanian mengekspresikan dirinya. Mereka lupa bahwa sejak dilahirkan, kita terikah oleh berbagai norma kehidupan bermasyarakat.
Banyak pula yang posting keberadaan di tempat tertentu seperti tempat kuliner, tempat hang out bersama kawan-kawannya, serta tempat wisata. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bisa melakukan itu tanpa perlu diketahui darimana uangnya. Sebagian memang berasal dari keluarga berada yang memang mampu membiayai gaya hidup anaknya.
Namun tidak sedikit yang memaksakan diri demi diakuinya eksistensi diri mereka. Dan tidak jarang dari mereka yang mau mengorbankan jiwa dan raganya demi mendapatkan pengakuan eksistensi dirinya dengan menunjukkan bahwa mereka mampu “membeli” pergaulan hidup yang sama.
Kebanyakan remaja bermental follower, mengikuti apa yang sudah ada di kelompoknya. Mereka takut dihina jika berbeda dan berani mandiri. Tak segan mereka masuk dalam kelompok apapun asal ada pengakuan. Banyak yang menyalurkannya melalui kelompok ekstrakurikuler di sekolah sebagai aplikasi penyaluran minat dan bakatnya. Namun tak jarang ada yang rela masuk kelompok geng-geng tertentu di sekolah yang mensyaratkan anggota barunya untuk menjadi pesuruh mereka.