Pembacaan Quran dengan langgam Jawa oleh Qari’ dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Isra Mi’raj di istana negara sabtu, 16 Mei 2015 kemarin hingga kini masih menuai pro-kontra. Mereka yang kontra menyertakan Hadits tentang anjuran membaca Al-Qur’an sesuai dengan logat orang Arab.
“Bacalah Qur’an dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahlul kitab dan orang-orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Qur’an seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampaui tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya” (H.R Tirmidzi)
Sempat beredar penyataan seorang reporter RRI Pro 3 bahwa pembacaan model langgam Jawa tersebut semata untuk menghormati Presiden Jokowi yang orang Jawa. Saya tersenyum simpul membacanya. Lah, memangnya Presiden Indonesia sebelum Jokowi bukan orang Jawa? Di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak pernah ada model bacaan langgam Jawa pada acara kenegaraan. Padahal Gus Dur cucu dari pendiri Nahdatul Ulama (NU). Bukankah Gus Dur lebih pantas dihormati ke-Islaman dan kejawaannya ketimbang Jokowi?
Berlandaskan Hadits Dhaif
Ternyata Hadits tersebut adalah hadits dhaif (lemah). Sebab di dalam sanadnya terdapat nama Abu Muhammad dan Baqiyah. Abu Muhammad tidak diketahui identitasnya. Sedangkan Baqiyah selalu meriwayatkan hadits dari orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Kalaupun seandainya hadits tersebut benar, coba perhatikan sekali lagi isi hadits tersebut. “Bacalah Qur’an dengan lagu dan suara orang Arab”. Siapa yang tau dengan pasti suara orang Arab seperti apa? Sepanjang saya belajar ilmu tajwid dan Qiraah, guru saya sama sekali tidak pernah mengajarkan suara orang Arab.
Masih banyak tokoh masyarakat kita yang sulit menerima hal-hal yang mereka anggap baru, kemudian dengan kerasnya mereka nyatakan sebagai bid’ah dan sesat. Kemudian masyarakat awam yang minim ilmu agamanya mengikuti bulat-bulat pernyataan si tokoh tersebut. Lantas, ummat Islam pun terpecah hanya karena masalah yang masih di seputaran “kulit” ini.
Kesalahan bukan pada cara ibadahnya. Tapi kesalahan adalah mempersalahkan orang yang beribadah sehingga mereka enggan untuk kembali ibadah karena telah diklaim sebagai ibadah yang bid’ah dan sesat. Kesalahan lain adalah kita tidak mengerjakan ibadah tersebut tapi gemar membid;ahkan dan mensesatkan ibadah orang lain. Sebelum wahyu turun, Rasulullah Saw sering melakukan pertapaan di gua-gua. Apakah sebelum wahyu turun Rasulullah Saw tergolong sesat dan bid'ah? Padahal beliau adalah nabi akhir zaman yang sudah jelas kebenarannya. Lantas, kita yang belum jelas statusnya di hadapan Allah Swt mengapa berani sekali mengklaim kesalahan dan kesesatan saudara kita sendiri?
Mengapa langgam Jawa yang dipermasalahkan, kalau ternyata hingga kini masih banyak masyarakat kita yang membaca Qur’an (bukan terjemah) tanpa berwudlu dahulu. Mengapa juga tidak mempermasalahkan orang-orang yang tidak sopan dengan Qur’an hingga sering menaruh Qur’an di lantai yang memudahkan anak-anak untuk menendangnya. Atau juga orang dewasa tidak sadar menginjaknya. Padahal jelas tertulis di sampulnya, “laa yamassuhuu illal muthahharuun” (tidak boleh menyentuhnya kecuali mereka yang telah bersuci).
Surga Milik Orang Arab?
Kalimat berikutnya di hadits tersebut adalah “Jauhilah lagu/irama ahlul kitab dan orang-orang fasiq”. Apakah irama Jawa termasuk irama fasiq? Apakah dengan menjadi Jawa berarti kita menjadi fasiq? Lantas bagaimana dengan orang-orang dari suku-suku tertentu yang kesulitan menyebut huruf-huruf Qur’an dengan logat Arab? Saya jadi teringat kisah Nabi Musa as yang marah pada orang yang tidak fasih berdoa. Beliau langsung ditegur Allah SWT. “Biarkan Musa, yang penting ketulusan hati, bukan kefasihan lidahnya”. Bukankah soal diterima atau tidak ibadah kita adalah urusan Allah Swt?
Kisah lain pernah dituliskan Muhammad Shobari di bukunya yang berjudul “Kang Sejo melihat Tuhan”. Dalam artikel yang berjudul “Doa Kang Suto” diceritakan bahwa Kang Suto sangat ingin mengaji tapi terhalang oleh logat Jawanya yang tidak bisa menyebut ‘ain. Setiap guru yang didatanginya meminta Kang Suto mengubah longat ‘ngain’-nya menjadi ‘ain. Bahkan gurunya mengatakan bahwa Bahasa Arab tidak bisa sembarangan. Salah bunyi bisa lain arti. Bisa-bisa dosa karena mengubah arti Qur’an. Kang Suto pun ketakutan, niatnya mau belajar malah jadi dosa.
Kalau benar begini, bagaimana mungkin Allah Swt jadi begitu pilih kasih? Orang-orang yang tidak mampu menyebut Qur’an sesuai dengan aslinya meski beramal sebanyak apapun terpaksa masuk neraka. Bukankah logat itu datangnya dari-Nya? Apakah kita mau menyalahkan-Nya sebagai pemberi logat yang berbeda-beda ini?
Namun saya setuju dengan kalimat terakhir hadits tersebut. “Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Qur’an seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampaui tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya”. Sekarang ini memang banyak orang yang membaca Qur’an mengutamakan lagu ketimbang tajwid. Atau lagu dan tajwidnya sudah sesuai tapi membacanya sambil lalu, tidak diserapi maknanya. Ini yang terpenting, lagu dan tajwid adalah pendukung agar bacaan Qur’an mengena di hati sehingga mudah meresapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Masalah Tajwid di Langgam Jawa?
Ada juga yang mempermasalahkan Tajwid Qari’, katanya tidak sesuai. Tajwid yang mana? Jangan buru-buru mengklaim hanya tajwid dari langam Jawa yang salah. Sepanjang yang saya perhatikan, Qari tersebut justru menyesuaikan lagu dengan tajwidnya, bukan kebalikannya seperti yang ramai di media sosial.
Jika mempermasalahkan tajwid, mestinya bukan hanya Qari dengan langgam Jawa, tapi untuk semua Qari dan Qariah. Kebanyakan Qari’ dan Qariah mengutamakan keindahan lagu dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Banyak yang membaca dengan mad thabi’i yang dibaca sampai 6 harokat.
Ustadzah Su’ud Aidid, salah satu juri MTQ (yang juga guru saya mengaji Quran) mengatakan bahwa Qari dan Qariah dari Jawa Timur banyak yang kalah di lagu karena mereka mengutamakan tajwid. Kebalikannya, Qari dan Qariah dari Jakarta sangat indah didengar bacaannya namun masyarakat banyak yang tidak tau kalau mereka banyak yang mengesampingkan tajwidnya.
Ucapan Ustadzah Su’ud Aidid ini bukanlah isapan jempol belaka. Saya sendiri mengalaminya ketika belajar Qiraah dengan orang pertama yang mengharumkan Indonesia melalui MTQ, Saidah Ahmad (Alm). Beliau dan guru-guru lainnya di Ma’had Fathimiyyah sering mengingatkan agar hati-hati dalam tajwid, terutama masalah maad (panjang-pendek). Masalah kesalahan tajwid (maad) sering terjadi pada para Qari dan Qariah di MTQ Nasional. Jadi, bukan berarti langgam Jawa lantas menabrak tajwid sedang langgam lainnya tidak. Itu semua tergantung bagaimana Qari dan Qariah menerapkannya dalam bacaan Qur’an mereka.
Muammar ZA Pengangum Bayyati
Lagu-lagu Qur’an yang umum pada pembacaan Qur’an adalah Bayyati, Nahwad, Shoba, Ras, Hijjaz, Jiharka, dan Sika. Masing-masing lagu punya variasinya masing-masing. Dan yang paling banyak variasinya juga paling banyak digunakan pada Qiro’ah adalah Bayyati, terutama di awal bacaan.
Salah satu varian Bayyati adalah Jawabul Jawab, yang sering digunakan sebagai nada tinggi penutup, kemudian dilanjutkan dengan lagu baru. Varian Bayyati yang begitu banyak bahkan membuat salah satu Qari’ ternama Indonesia, Muammar ZA hampir 95% menggunakan lagu Bayyati dalam tiap Qiraahnya.
Saidah Ahmad (Alm) biasanya melanjutkan dengan Nahwan atau Shoba untuk lagu pada ayat berikutnya. Saya sendiri sangat mengagumi lagu Ros yang agak berbeda dengan lagu lainnya. Jika lagu-lagu lain umumnya dimulai dengan nada rendah, Ros yang dimulai dengan nada sedang.
Sukses Pengalihan Isu Blok Migas
Mereka yang mempermasalahkan langgam Jawa ini ternyata membawa hadits yang dhaif. Padahal mereka inilah yang sedikit-sedikit mempertanyakan hadits jika ada perkara yang dirasa baru bagi mereka. Saya sangat menyayangkan karakter orang-orang yang inkonsisten dalam bersikap, lebih-lebih dalam beragama, suatu hal yang sangat prinsip.
Mereka konsisten dalam satu hal, yaitu memerangi perbedaan. Maaf kalau saya malah jadi mencurigai mereka ditugaskan untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap suksesnya pemerintah mengalihkan isu blok migas yang kini sudah jadi milik asing.
Permasalahan utamanya adalah, hingga kini masih banyak saja orang yang mau mengikuti orang-orang tertentu untuk meributkan langgam Jawa ini. Padahal di balik itu blok migas Indonesia sudah diambil alih asing. Wah, hebat kan pengalihan isu ala Jokowi....
Qari Langgam Jawa, Gurunya Siapa?
Saya pikir kalau memang langgam yang bukan dari jazirah Arab ini dikembangkan menjadi suatu ilmu baru, justru lebih baik ketimbang buru-buru mempublikasikan tanpa penguasaan. Buktinya Sudjiwo Tedjo yang dalang itu bisa ciamik mempraktikkan ayat kursi dengan gaya wayang. Tidak monoton seperti yang dibacakan Qari kemarin.
Sebaiknya Qari’ langgam jawa tidaklah enggan belajar nada-nada wayang dari para ahlinya. Hal ini juga bisa memperluas syiar Islam terutama di masyarakat kejawen yang belum akrab dengan nada-nada Qur’an.
Jangan terburu-buru mempublikasikan langgam baru sebelum mempelajari nada-nada itu serta variasinya secara mendalam. Apalagi pembacaannya dilakukan di acara kenegaraan. Sudjiwo Tedjo bisa membawakannya dengan ciamik tapi tidak dilakukannya di acara besar kenegaraan.
Edy Ahmad Efendi dalam kicauannya di twitter menyatakan tidak masalah dengan langgam Jawa ini, hanya saja waktunya yang kurang pas. Saya sepakat dengan pendapat beliau. Perlu sosialisasi dahulu pada masyarakat. Bisa saja diawali dengan membuat majelis khusus pengembangan ilmu nada-nada jawa pada nada-nada Quran. Dengan syarat, kaidah tajwid sebagai syarat utama bacaan yang baik dalan Qur’an tidak ditinggalkan.
Wassalam
@Sam_Me1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H